
TENGKULUCKMAN SINAR:
PEMIKIRANNYA MENGENAI MELAYU
SEBAGAI BINGKAI KEMAJEMUKAN SUMATERA UTARA
DAN APLIKASINYA DALAM KESENIAN
Muhammad Takari bin Jilin Syahrial
Dosen Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra USU; Ketua Departemen Adat, Seni, dan Budaya PB MABMI; dan Penggiat Kesenian Melayu
Pendahuluan
Medan, Jalan Abdullah Lubis, Jumat 8 Januari 2011, ramai masyarakat dari berbagai golongan, suku, agama, datang di kediaman keluarga besar Tuanku Luckman Sinar Basarsyah II, Al-Haj, S.H. untuk satu tujuan bertakziah. Papan bunga memenuhi sisi kanan dan kiri badan Jalan Abdullah Lubis. Hari itu, seorang pemimpin besar Melayu yaitu Tuanku Luckman Sinar dipanggil oleh Allah Subhana Wataala ke hadirat-Nya, setelah sekitar seminggu berobat di salah satu rumah sakit di Kuala Lumpur, Malaysia. Masyarakat Kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia, Dunia Melayu, dan Dunia Islam, sekali lagi kehilangan seorang pemimpinnya. Mereka berharap akan muncul pemimpin baru, selepas kepergian Tengku Luckman Sinar (TLS) ini.
Kemudian dalam rangka memperingati ketokohan Almarhum (Allahyarham), Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, menyelenggarakan Seminar Internasional tentang Pemikiran Tuanku Luckman Sinar Basarsyah II: Keindonesiaan dan Kemelayuan Mencari Tempat Tradisi di Wilayah Negara Indonesia. Oleh Panitia saya dipercayakan untuk menulis sebuah makalah tentang Pemikiran Tengku Luckman Sinar tentang Melayu sebagai Bingkai Kemajemukan Sumatera Utara. Kemudian tajuk ini saya tambah dengan Aplikasinya dalam Kesenian. Yang menjurus kepada disiplin yang penulis tekuni selama ini. Begitu juga pengalaman hidup bersama Allahyarham yang sebahagian besar berada di dalam domain kesenian dan budaya. Dengan senang hati dan mengucap Insya Allah, penulis menyanggupi untuk mendedahkan pemikiran Allahyarham semasa hidup mengenai Melayu sebagai bingkai kemajemukan (heterogenitas, multikultur) Sumatera Utara, juga pengalaman sebahagian hidup kami, dalam bekesenian, dan membina ilmu-ilmu budaya Melayu.
Untuk memerikan dua hal tersebut, penulis akan memakai panduan ilmu sejarah dan cara orang Melayu melihat, menghargai, mengapresiasi, dan menilai orang lain, termasuk seorang sultan, pemimpin, tokoh masyarakat, ayah (entu) kami, sahabat, guru, rekan, dan berbagai sosok yang lengkap menurut penulis. Inilah yang memandu penulis menguraikan pokok masalah tersebut.
Adapun yang dimaksud sejarah dalam tulisan ini adalah mengacu kepada pendapat seorang pakar sejarah yaitu Garraghan, sebagai berikut.
The term history stands for three related but sharply differentiated concepts: (a) past human events; past actuality; (b) the record of the same; (c) the process or technique of making the record.
The Greek istoria, which gives us the Latin historia, the French histoire, and English history, originally meant inquiry, investigation, research, and not a record of data accumulated thereby—the usual present-day meaning of the term. It was only at a later period that the Greeks attached to it the meaning of “a record or narration of the results of inquiry.” In current usage the term history may accordingly signify or imply any one of three things: (1) inquiry; (2) the objects of inquiry; (3) the record of the results of inquiry, corresponding respectively to (c), (a), and (b) above (Garraghan 1957:3).
Sementara untuk mengurai persepsi penulis terhadap ekesistensi TLS semasa hidupnya, terutama hubungan pribadi dan sosial kami, digunakan etnosains Melayu, yang terkodifikasi dalam ajaran adat Melayu. Adat Melayu ini diklasifikasikan dalam empat kategori yaitu: (a) adat yang sebenarnya adat, (b) adat yang diadatkan, (c) adat yang teradat, dan (d) adat istiadat. Adat Melayu ini didasari oleh ajaran-ajaran Islam, yang dikonsepkan oleh nenek moyang orang Melayu sebagai adat bersendikan syarak, dan syarak bersendikan kitabullah (ABS-SBK). Artinya dalam mengkaji eksistensi seorang manusia (hamba Allah) di muka bumi ini selama hidupnya lihatlah menurut perspektif agama Islam. Inilah yang penulis lakukan dalam rangka mengkaji pengalaman bersama TLS.
Agar uraian tidak meluas, maka penulis batasi kepada dua aspek saja, yaitu yang pertama adalah pemikiran atau konsep Allahyarham mengenai Melayu sebagai bingkai kemajemukan budaya Sumatera Utara. Kemudian yang kedua adalah penerapan kemajemukan dalam berkesenian. Ini adalah kinerja yang telah diberikan Tuhan kepada penulis dan TLS, yang bertungkus lumus di bidang seni budaya Melayu. Dua hal itu akan berdampak dalam rangka membina ilmu-ilmu tentang budaya Melayu yang sama diberikan Allah kepada kami. Kami ditakdirkan oleh Allah untuk berkecimpung di dunia akademis, khususnya di Fakultas Sastra USU, juga mengabdikan diri untuk senantiasa memberikan dan berbagi ilmu-ilmu mengenai budaya Melayu dalam masyarakat, baik di Medan, Sumaera Utara, Indonesia, atau Dunia Melayu yang lebih luas. Kami ditakdirkan Allah untuk selalu sama dalam mebagikan pengalaman keilmuan seputar budaya Melayu dalam bentuk seminnar, simposium, lokakarya, menulis artikel, buku, dan seterusnya.
Arahan Budaya Melayu dalam Memandang Pemimpin
Dalam kebudayaan Melayu, pemimpin (pimpinan) adalah hal yang penting untuk diwujudkn eksistensinya dalam rangka membentuk masyarakat yang madani. Seorang pemimpin akan menjadi “imam” kepada orang yang dipimpinnya. Pemimpin ini bisa berupa diri sendiri, pemimpin keluarga, pemimpin masyarakat desa, pemimpin adat, pemimpin angkatan perang, bahkan sampai sultan atau presiden. Pemimpin mestilah memberikan contoh yang terbaik bagi yang dipimpinnya.
Dalam kebudayaan Melayu seorang sultan atau raja dipandang sebagai wakil Allah di muka bumi ini. Seorang sultan setelah dinobatkan dengan menggunakan upacara penobaan, maka secara otomatis ia adalah pemimpin tertinggi di dalam institusi politik Melayu. Ia menjadi kepala ulama, kepala pemerintahan, kepala angkatan perang, dan dengan pertimbangan yang bijaksana ia dapat memutuskan apa yang akan diambil oleh negeri yang dipimpinnya.
Namun demikian, seorang pemimpin Melayu juga harus memperhatikan suara hati nurani rakyat yang dipimpinnya. Bahkan ada nilai-nilai keseimbangan pengawasan oleh rakyat dalam kebudayaan Melayu ang tercermin dalam ungkapan: raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Artinya setiap rakyat yang berada dalam kekuasaan raja Melayu bisa melakukan kritik kepada raja, jika sang raja melakukan kesalahan. Dalam sejarah Melayu, pertembungan antara kepentingan pemimpin dan kepentingan rakyat ini pernah terjadi di zaman kesultanan Melayu Melaka. Pada saat itu terjadi kritik rakyat terhadap kinerja sultan Melaka. Suara rakyat ini direspons oleh Hang Jebat dan suara sultan direspons oleh Hang Tuah. Akhirnya dua tokoh Hang ini saling bertempur dan akhirnya Hang Jebat kalah di tangan Hang Tuah.
Bagi orang Melayu seorang pemimpin harus ditaati, dihormati, dan diikuti perintah-perintahnya adalah sesuai dengan kanun Islam. Agama Islam menjadi dasar bagi kebijakan politik dan budaya dalam konteks peradaban masyarakat Melayu. Islam mengajaran bahwa seorang pemimpin tidak boleh terlalu dikultuskan seperti halnya Firaun di zaman Mesir Lama. Namun seorang pemimpin juga tidak boleh diremehkan oleh masyarakat yang dipimpinnya, walau ada kelemahan dalam kinerja kepemimpinannya. Sampaikan kritik melalui saluran sosial dan politik yang ada.
Seorang pemimpin cukuplah dihormati sebagai pimpinan dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai wakil Allah di muka bumi. Pemimpin bisa salah dan juga bisa benar, karena dia tidaklah maksum (terhindar dari segala dosa). Dengan demikian, dalam rangka mengenang TLS, maka penulis merujuk kepada panduan budaya Melayu ini, yang juga dipegang oleh TLS semasa hidupnya dan itu pun diajarkannya kepada penulis.
Sejarah Perkenalan dengan TLS
Sebagaimana penjelasan tentang otobiografi ringkas beliau, TLS adalah putera Tuanku Sulaiman Syariful Alamshah, Sultan Kerajaan negeri Serdang. Dilahirkan di Istana Kota Galuh Bandar Setia Perbaungan, Deli Serdang, Sumatera Utara pada tanggal 27 Juli 1933. Pernah memimpin berbagai perusahaan dan aktif dalam bidang sosiobudaya dan sejarah. Berbagai tulisan dalam bentuk makalah dan buku telah ditulisnya dan dipublikasikannya, sebagai aset utama tulisan-tulisan sosiobudaya Melayu. Beliau juga memangku sebagai sultan Serdang kelima, yan selepas wafatnya digantikan oleh Tuanku Drs. Ahmad Thala’a. TLS dikenal sebagai sosok sejarawan aktif di Sumatera Utara. Berbagai publikasi sejarah baik secara mandiri atau tim telah diterbitkan secara pribadi atau oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Deli Serdang, dan lainnya. Ia juga pernah menjadi dosen tamu untuk mata kuliah Pengantar Masyarakat Kesenian di Indonesia (PMKI) di Fakultas Sastra tahun 1985-2000. Beliau juga berhasil mendidik anak-anaknya menjadi orang Melayu yang terpelajar, bahkan menyandang gelar kehormatan akademis profesor dan doktor.
Awal perkenalan penulis dengan Allahyarham adalah tahun 1984 Ketika itu ia mengajar mata kuliah Pengantar Masyarakat Kesenian Indonesia (PMKI) yang dikoordinasikan oleh Ibu Dra. Chalida Fachruddin, besama Rizaldi Siagian, M.A., dan Drs. Fadlin Djafar. Beliau mengajarkan bidang kesenian Melayu, yang di antara kuliahnya berisi materi tentang eksistensi musik dan tari Melayu secara umum, serampang dua belas, teater makyong dan mendu, serta beberapa genre tradisi lisan Melayu.
Pada awal pertemuan penulis ini, penulis menanyakan apa saja alat-alat musik dalam kebudayaan Melayu yang “asli” berasal dari kebudayaan Melayu, bukan diambil dari budaya luar. Dengan cekatan beliau menjawab bahwa alat-alat musik Melayu seperti yang penulis tanyakan itu di antaranya adalah: gendang ronggeng, gendang geduk, gendang silat (inai), kertok buloh, dan lain-lain. Alat-alat dari luar juga diadopsi oleh orang Melayu dan menjadi bahagian yang integral dari kebudayaan Melayu itu sendiri. Menurut beliau, biola misalnya jelas berasa dari Eropa, dan biola Eropa ini sendiri berasal dari rebab (rebec) Timur Tengah. Kemudian biola dan rebab itu kedua-duanya dijumpai di dalam kebudayaan Melayu.
Sejak saat itu, beliau selalu memberikan perhatian kepada penulis, terutama di bidang ilmu-ilmu seni dan budaya Melayu. Beberapa kali penulis dipercaya Entu untuk mewakili beliau di dalam seminar-seminar yang topik dan temanya mengkaji budaya dan seni Melayu. Oleh karena itu, Departemen Etnomusikologi memberikan wewenang kepada Rizaldi Siagian dan Tengku Luckman Sinar untuk membimbing penulisan skripsi strata satu saya yang bertajuk Kesenian Hadrah dalam Kebudayaan Melayu Deli Serdang dan Asahan: Studi Deskriptif Musikal, yang diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana seni di bidang Etnomusikologi di Fakultas Sastra USU Medan. Beliau dengan lugas dan berwawasan luas membimbing penulisan skripsi tersebut yang mengantarkan penulis menjadi seorang sarjana seni.
Hubungan sosial terus berlanjut. Di dekade 1990-an beliau adalah Ketua Bidang Seni Budaya. Fadlin, penulis, dan beliau membentuk Lembaga Kesenian Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (LK-MABMI), bersama-sama juga Dahlia Grup dan Sri Indra Ratu (SIR). Di tengah jalan, integrasi kelompok-keloompok seni Melayu ini mengalami perpecahan. Akhirnya beliau membentuk Sinar Budaya Group (SBG) bersama Fadlin, penulis, Syainul Irwan, dan para anggota-anggota seniman tari dan musik Melayu. Dalam perjalanannya SBG bagaimanapun turut melestarikan seni budaya Melayu di kawasan Sumatera Utara. Bahkan berbagai genre seni di luar Melayu juga selalu dibawakan oleh grup kesenian ini..
Dalam hal ini TLS berpikiran bahwa peradaban Melayu memiliki nilai-nilai untuk membingkai kebudayaan-kebudayaan etnik Nusantara ini dalam bentuk kesatuan dalam pelbagai perbedaan. Menurut penjelasan beliau dengan kami para pengurus SBG, Melayu adalah sebuah entitas yang luas mencakup kawasan Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Oseania, sampai ke Selandia Baru, dan Madagaskar. Kalau disatukan secara budaya mereka memiliki potensi yang dahsyat. Itu secebis pemikiran TLS tentang kesatuan dalam keanekaragaman, yang kemudian diterapkannya untuk bidang kesenian khususnya di SBG.
Tahun 2010 sampai 2014 penulis dipercaya oleh Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (PB MABMI) menjadi Ketua Depatemen Adat, Seni, dan Budaya. Ini pun direspons oleh TLS bahwa teruskan perjuangan umat Melayu melalui adat dan seni. Beliau selalu memberikan arahan dan nasehat ke mana budaya Melayu ini akan kita bawa. Bahwa menurut beliau budaya Melayu jangan sampai tercerai-berai dengan Islam yang menjadi penggerak utama atau roh menyiasatinya. Itu yang penulis ingat ketika memberikan arahan saat penuls dilantik menjadi ketua departemen adat, seni, dan budaya PB MABMI. Bahkan di ujung hayatnya ia dengan eksplisit menyatakan bahwa tulislah terus tentang kebudayaan Melayu ini, agar dapat kita wariskan kepada generasi berikutnya.
Salah satu kerja besar TLS adalah dalam memperkenalkan seni budaya Melayu Sumatera Utara dan Nusantara ke manca negara, baik itu ke Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan sampai ke Amerika Latin dan beberapa negeri Arab. Di antara kerja besar beliau adalah membawa SBG ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organization Petroleum Exporter Countries (OPEC) di Caracas, Venezuela, tahun 2001, yang disponsori oleh Pemerintah Repubik Indonesia. Persembahan SBG ini menjadi buah bibir di kalangan seniman di kawasan ini dan mancanegara.
Selain itu, TLS juga rajin menulis makalah untuk seminar-seminar yang berkaitan dengan adat dan seni Melayu. Ratusan makalah sudah ditulisnya dan puluhan buku tentang Melayu juga telah ditulis dan dipublikasikannya. Ini menjadi bahan yang berharga dalam rangka mengkaji dan mengembangkan kebudayaan Melayu Sumatera Timur ke masa depan.
Tahun 2010, di bulan Desember, TLS, beserta Abangnda Yose Rizal Firdaus, Muslim, penulis, dan Fadlin, mengisi seminar zapin yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Medan (DKM). Ini adalah seminar terakhir beliau di penghujung hayatnya, yang kemudian bertemu dengan Sang Khalik yang menciptakan beliau.
Sifat-sifat Dasar TLS
Sifat-sifat dasar TLS adalah suka menolong sesama. Ia bahkan rela membiayai para mahasiswa yang kuliah yang kemudian bisa mengabdi kepada beliau atau budaya Melayu. Ini ditunjukkannya dengan menafkahi hidup dan kuliah sang mahasiswa, bahkan diberi kendaraan sepeda motor untuk dapat menyelesaikan kuliahnya. Ia juga akan memberikan uang dengan cepat apabila ada pegawainya yang sakit atau ditimpa kesusahan. Bahkan biaya operasi pun ditanggungnya.
Selain itu, TLS paling suka memberi makan, siapa saja yang dianggapnya dekat dengan beliau. Memberi makan ini semacam ada kepuasan tersendiri baginya. Masih ingat dalam memori penulis, bahwa setiap bulan puasa, minimal sekali kami berbuka puasa bersama di restoran yang elit di Kota Medan ini. Beliau juga suka mengambil makanan yang ada di pinggan kami masing-masing dengan cara merata-rata. Itu adalah sepenggal sifat dasar beiau.
Selanjutnya, TLS adalah seorang pencinta seni sejati, khususnya seni pertunjukan. Bukan saja sebagai pencinta dan penikmat seni. Beliau juga suka memainkan alat-alat musik. Adapun alat-alat musik yang kerap dimainkannya adalah seperangkat timbales, gendang ronggeng Melayu, dan juga bass elektrik. Alat musik bass elektrik ini juga belaiu percayakan kepada penulis untuk memainkannya menggantikan beliau dalam sesebuah pertunjukan SBG. Dalam memainkan pola-pola ritme gendang Melayu dan timbales beliau suka memberikan improvisasi di sana-sini yang memperlihatkan jiwa merdekanya di alam seni, tidak dikungkung oleh dimensi ruang dan waktu dalam dimensi musik.
Sifat dasar TLS lainnya adalah menyelesaikan masalah secara cepat. Bahkan kadang dirugikan dengan keputusan yang cepat ini. Namun beliau mempunyai prinsip dalam mengambil keputusan dalam rangka manajerial beliau. Keputusan-keputusan yang dibuat beliau selain memperhitungkan kepentingan umum, juga adalah memperhitungkan kepentingan keluarganya. Ini yang dapat kami simak selama berkenalan dengan TLS semasa hidupnya.
TLS adalah seorang pemangku adat (sultan) Kerajaan Negeri Serdang. Pada saat pelantikannya ini, beliau memperlihatkan kewibawaan dan pluralitas etnik yang ada di Serdang. Kesenian yang dipertunjukkan juga melibakan seni Melayu, Simalungun, dan Karo, sebagai entitas utama Kerajaan Negeri Serdang. Ini memperlihatkan bahwa beliau adalah seorang yang menghargai perbedaan dalam kesatuan Kerajaan Serdang yang dipimpinnya.
Pemikiran TLS mengenai Melayu sebagai Bingkai Kemajemukan Kultural Sumatera Utara
Sebagai sejarawan dan ahli Melayu di bidang ilmu pengetahuan TLS juga memiliki pemikiran yang kreatif terhadap apa itu Melayu dan bagaimana kedudukan Melayu dalam kemajemukan budaya dan etnik yang ada di Sumatera Utara. Bagi beliau, Melayu sejak abad ke-13 adalah beridentitaskan Islam. Oleh karena itu beliau selalu mengutip pendapat sarjana asing yang mendefinisikan Melayu sebagai muslim, terutama dari Judith A. Nagata: A Malay one who Muslim, who habitually speaks Malay, who practises Malay adat, and who fulfills certain residence requirements (Nagata 1977:91).
Menurutnya orang Melayu ada di Siam Selatan, Malaysia Barat, Singapura, Brunei, dan di Malaysia Timur serta di Indonesia. Istilah yang sering didengar zaman dahulu masuk Melayu berarti masuk Islam. Di kawasan Indonesia, Melayu ini menjangkau wilayah sepanjang pesisir timur Sumatera. Dari Tamiang (Aceh Timur), pesisir timur Sumatera Utara, Provinsi Riau, Pesisir Jambi, serta Kalimantan Barat. Karena wilayahnya yang berada dalam jalur lalu lintas ramai, yaitu Selat Melaka dan Laut China Selatan itu, maka tidaklah mengherankan apabila masyarakat Melayu paling banyak mendapatkan pengaruh dari bangsa-bangsa lain seperti Siam, China, Arab, India, Persia, Portugis dan dari suku-suku tetangga seperti Batak, Jawa, dan lain-lain (Luckman Sniar 1990:2). Demikian pendapat TLS tentang suku Melayu, khususnya beranjak dari orang Melayu di Sumatera Utara.
Dalam ukuran ras yang lebih besar maka ras Melayu mencakup wilayah Asia Tenggara, sebagai pusatnya, sampai ke Madagaskar di wilayah Barat, Taiwan di utara, Oseania (Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia) di timur, sampai ke Selandia Baru di Selatan. Demikian luas bentangan ras Melayu ini menurut pendapat beliau berdasarkan bahan-bahan kajiannya. Wilayah yang luas ini disebut dengan daerah kebudayaan Melayu-Polinesia atau Melayu-Austronesia.
Menurut TLS, masyarakat Melayu Sumatera Utara selain memiiiki ciri kebudayaan yang umum, juga memiliki ciri khas yang khusus terdapat di kawasan ini saja. Dalam berbagai seminar tentang identitas kemelayuan, maka ciri-ciri khas itu adalah tergambar dalam struktur kekerabatan, seperti yang diuraikan berikut ini.
Sistem kekerabatan etnik Melayu di Sumatera Utara, berdasar kepada hirarki vertikal adalah dimulai dari sebutan yang tertua sampai yang muda: (1) nini, (2) datu, (3) oyang (moyang), (4) atok (datuk), (5) ayah (bapak, entu), (6) anak, (7) cucu, (8) cicit, (9) piut, dan (10) entah-entah. Hirarki horizontal adalah: (1) saudara satu emak dan ayah, lelaki dan wanita; (2) saudara sekandung, yaitu saudara seibu, laki-laki atau wanita, lain ayah (ayah tiri); (3) saudara seayah, yaitu saudara laki-laki atau wanita dari satu ayah lain ibu (emak tiri); (4) saudara sewali, yaitu ayahnya saling bersaudara; (5) saudara berimpal, yaitu anak dari makcik, saudara perempuan ayah; (6) saudara dua kali wali, maksudnya atoknya saling bersaudara; (7) saudara dua kali impal, maksudnya atok lelaki dengan atok perempuan bersaudara, (8) saudara tiga kali wali, maksudnya moyang laki-lakinya bersaudara; (9) saudara tiga kali impal, maksudnya moyang laki-laki sama moyang perempuan bersaudara. Demikian seterusnya empat kali wali, lima kali wali, empat kali impal, dan lima kali impal. Sampai tiga kali impal atau tiga wali dihitung alur kerabat yang belum jauh hubungannya.
Dalam sistem kekerabatan Melayu Sumatera Utara dikenal tiga jenis impal: (1) impal larangan, yaitu anak-anak gadis dari makcik kandung, saudara perempuan ayah. Anak gadis makcik ini tidak boleh kawin dengan pihak lain tanpa persetujuan dari impal larangannya. Kalau terjadi, dan impal larangan mengadu kepada raja, maka orang tua si gadis didenda 10 tail atau 16 ringgit. Sebaliknya jika si gadis itu cacat atau buruk sekali rupanya, impal larangan wajib mengawininya untuk menutup malu "si gadis yang tak laku;" (2) impal biasa, yaitu anak laki-laki dari makcik; (3) impal langgisan, yaitu anak-anak dari emak-emak yang bersaudara.
Istilah impal ini, menurut TLS yang memberikan identitas khas kekerabatan etnik Melayu Sumatera Utara, yang tidak dijumpai dalam kebudayaan etnik Melayu di lain tempat. Istilah impal itu sendiri menurut beliau memiliki hubungan dengan etnik Karo, yang secara historis berasal dari satu kerajaan yang sama yaitu Kerajaan Haru. Bagi TLS struktur kekerabatan ini, memiliki hubungan dengan masyarakat suku-suku sekitar etnik Melayu yaitu Karo, Simalungun, Batak Toba, Mandailing-Angkola, dan Pakpak-Dairi yang menyebabkan khas struktur kekerabatan tempatan.
Bagi TLS berbagai etnik di Sumatera Utara ini dapat dipersatukan oleh peradaban Melayu, yang itu dibuktikan sejak masa kesultanan hingga sekarang ini. Pertama, pada masa kesultanan Melayu berbagai kelompok etnik Batak Toba, Mandailing-Angkola, Simalungun, dan Karo hijrah ke daerah kesultanan Melayu dan masuk Melayu. Bagi mereka ini semua hak dan kewajiban adalah sama dengan orang Melayu. Begitu juga suku Minangkabau, Jawa, dan Aceh yang datang ke daerah kesultanan Melayu masuk menjadi warga Melayu dan merupakan aset insani yang tidak ternilai harganya bagi kesultanan Melayu. Bahkan menurut kajian TLS, kesultanan Serdang sendiri dibentuk oleh perpaduan darah-darah keturunan Melayu, Simalungun, Karo, Minangkabau, Jawa, Tionghoa, Eropa, dan lainnya Jadi secara dasarnya orang Melayu sudah sangat menghargai keanekarangaman budaya yang juga terekspresi dalam konteks Sumatera Utara, Indonesia, dan Dunia Melayu.
Selepas kemerdekaan, upaya melayunisasi ini mengalami degradasi, masyarakat tadi sebahagian kembali mencari keturunan darahnya dan memakai marga, namun tetap memegang teguh nilai-nilai kemelayuan. Bagi TLS ini adalah wajar terjadi di alam demokrasi yang sangat menghargai hak individu. Namun dalam pemikiran beliau, Melayu masih menjadi salah satu pilihan membingkai integrasi sosial mereka. Minimal itu dapat dilihat di dalam penggunaan bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di antara mereka. Selain itu, berbagai tradisi ritual Melayu diunakan oleh berbagai kelompok etnik tersebut, seeprti upacara tepung tawar, nasi balai, pakaian ala Melayu, masakan khas Melayu yang juga menjadi identitas kultural bersama. Jadi dalam pemikiran TLS budaya Melayu dapat membingkai keanekaragaman budaya dalam suasana integrasi sosial.
Aplikasi Kemajemukan Budaya Nusantara dalam Kesenian
Eksistensi kemajemukan kebudayaan Sumatera Utara yang perlu dihargai dan dilestarikan tidak hanya cukup dalam tahap ide saja. TLS mengaplikasikan gagasannya ini ke dalam bidang kesenian yang tentu saja diterapkan ke Sinar Budaya Group (SBG). Berbekal ide keanekaragaman budaya itu, maka SBG di dasawarsa 1990-an sampai 2000-an dalam repertoarnya memasukkan semua unsur etnik Sumatera Utara dan Nusantara. Di antara repertoar Sumatera Utara itu adalah: (a) Tortor saoan dan Somba-somba dari budaya Batak Toba bersama Gondang Sabangunan. Untuk keperluan ini pun beliau memasukkan pemusik Toba seperti Martogi Sitohang dan Oktavianus Matondang sebagai pemainnya, tidak mesti orang Melayu. (b) Tari Shaman dan Dabus dari Aceh, yang juga mendatangkan pemain dabus Aceh yaitu Nazaruddin, yang dibawa pertunjukan ke Malaysia, Singapura, bahkan sampai ke Venezuela, (c) Tortor Sabe-sabe, dari kawasan Mandailing-Angkola dan juga Gordang Sambilan dan gondang dua Mandailing-Angkola, yang biasa dimainkan oleh Fadlin, Muhammad Takari, Datuk Fauzi, dan kawan-kawan untuk bidang musik dan tari oleh Riri Virzan Putri dan kawan-kawan, (d) Gendang keyboard dan lima sedalanen Karo, yang juga mengambil pemusik Karo, juga tari-tarian Karo seperti Piso Surit dan Biring Manggis, (e) Tari maena atau tari perang dari etnik Nias juga mendapatkan porsi dalam rangka seni multikultur di SBG ini, (f) Tari Rantak Minangkabau beserta iringan gendang dol Minangkabau dan ensambel talempongnya, (g) tari Klono Topeng dari Jawa Timur juga ditampilkan oleh kelompok kesenian SBG ini, (h) Tari Baris dari Bali juga menjadi salah satu repertoar grup seni SBG yang diimpin oleh TLS.
Penerapan multikultur ala SBG ini tidak lepas pula dari peran kami pendukung SBG, yang menginginkan ekspresi multikultur Sumatera Utara dan Nusantara dalam bentuk seni budaya. Hal ini sejalan pula dengan konsep ketatanegaraan kita yang menghargai perbedaan dalam kesatuan yang tercermin dalam filsafat bhinneka tunggal ika.
TLS juga termasuk seorang yang tidak anti terhadap perubahan zaman, yang dihayatinya dari ajaran budaya Melayu. Bahwa perubahan itu pasti terjadi, jadi jangan menolak perubahan. Dalam berkesenian pun ia mencoba membuat perubahan di sani-sini sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam budaya Melayu dikatakan sekali air bah, sekali tepian berubah. Artinya perubahan pasti terjadi sesuai dimensi ruang dan waktu yang dilalui sesebuah peradaban, termasuk perdaban Melayu. Dalam rangka mengikuti perubahan ini, TLS juga melakukan pembaharuan di bidang seni seperti memasukkan nilai-nilai musik dan tari pop dunia, memasukkan unsur-unsur budaya Asia Tengah ke dalam zapin, dan seterusnya, yang menjadikan seni garapan baru menjadi lebih hidup dan dinamis.
Penutup
Bahwa semasa hidupnya TLS adalah seorang pemikir dan praktisi budaya, yang berdasar kepada konsep bhinneka tunggal ika. Baginya budaya Melayu dapat menjadi penaung atau bingkai integrasi sosiobudaya masyarakat Sumatera Utara yang multikultur. Identitas Melayu sendiri pun menghargai perbedaan ini, dan orang Melayu terbuka menerima etnik lain untuk masuk Melayu. Jadi menurut TLS berbicara Melayu Sumatera Utara berarti berbicara keanekaragaman etnik yang ada di Sumatera Utara. Membicarakan keberagaman etnik tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai integrasi yang telah berakar di dalam kebudayaan Melayu.
Beliau sebagai pemikir identitas Melayu, kemajemukan etnik Nusantara, berpikir bahwa eksistensi yang heterogen ini memiliki berbagai unsur persamaan, yang terdapat dan terkandung di dalam kebudayaan Melayu. Baginya Melayu dapat membingkai keanekaragaman ini dalam daya kesatuan yang kuat dan dinamis. Demikian ulasan penulis. Wassalam.
Bibliografi
Barth, Fredrik, 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Blagden, C.O., 1989 “The Name Melayu”, Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society.
Hall, D.G.E., 1968. A History of South East Asia. New York: St. Martin Press. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, 1988. Sejarah Asia Tenggara, diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo. Surabaya: Usaha Nasional.
Garraghan, Gilbert J.,S.J., 1957. A Guide to Historical Method. East Fordham Road, New York: Fordham University Press.
Geldern, Robert Heine. 1972. Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta: Rajawali Press.
Muhammad Takari, 1990. Kesenian Hadrah pada Kebudayaan Etnis Melayu di Deli Serdang dan Asahan: Studi Deskriptif Musikal. Medan: Skripsi Jurusan Enomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Ismail Hussein, 1978. The Study of Traditional Malay Literature with Selected Bibliography. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Langenberg, Michael van, 1976. “National Revolution in North Sumatra: Sumatra Timur and Tapanuli 1942-1950,” tesis doktor falsafah, Sydney: University of Sidney.
Nagata, Judith A., 1977. BKI, D.I.
Tengku Luckman Sinar, 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu. Medan: Perwira.
==============================================================
TUANKU LUCKMAN SINAR:
KEMELAYUAN DAN KESERANTAUAN
Oleh:
Prof. Madya Datuk Zainal Abidin Borhan
Akademi Pengajian Melayu
Universiti Malaya
Di dalam mengenang Almarhum Tuanku Luckman Sinar (ATLS) saya teringat kali pertama berkenalan dengan almarhum apabila UNRI khasnya Pemprov Riau mengadakan Seminar Antarabangsa Indigenous People di Pekanbaru pada tahun 1980an. Kemudian pada 1990an diadakan Forum UM-USUdi Akademi Pengajian Melayu yang ATLS turut membaca makalah. Pada 1990an juga Datuk A. Latiff Abu Bakar mangambil initiatif mengadakan Pesta Gendang Nusantara di Melaka berkerjasama dengan Majlis Perbandaran Melaka dan ATLS turut membawa team kesenian serta membaca makalah. Apabila saya dipilih sebagai Setiausaha I (Seketaris Genaral) GAPENA hubungan semakin akrab dan mengenali almarhum lebih dekat.
Dalam kerangka obituari ini saya teringat akan buku ATLS iaitu Pantun dan Pepatah Melayu (1995).
Tanam padi di sawah bendang
Menanti masak bilangan tahu
Jika pandai menjadi orang
Rezeki secupak makan setahun
Jika masak pisang setandan
Mari disimpan di dalam kereta
Jika ada tuah di badan
Kaca ku pegang jadi permata
Air mendidih jika dijerang
Kena ke kulit menjadi lepuh
Kalau makan hendak kenyang
Berendam diri dalam peluh
Tongkat Ali petala bumi
Ubat khasiat akar kayu
Nasihat petunjuk berikan kami
Agar tak sesat umat Melayu”
Bahawa pantun dan pepatah koleksi beliau adalah penyataan kemelayuan yang amat dalam. Ia adalah manifestasi semangat yang tinggi dalam menghadapi kehidupan. Pantun juga pepatah masih kekal di rantau ini sebagai lambang pengikat ide keserumpunan yang pan-Melayu.
Pada awal 1980an di Sumatera, terdapat tiga tokoh penting yang amat akrab dengan GAPENA, iaitu Almarhum Profesor Ali Hasjmy, Profesof Dr. Tabrani Rab dan ATLS. Selain dari beliau-beliau, terdapat pula Tenas Effendy, Raja Hamzah Yunus (almarhum), Profesor Samin Siregar (almarhum), Shafwan Hadi Umry, dan lain-lain. GAPENA akrab dengan kelompok Melayu Aceh, Sumatera Utara dan Riau (termasuk Kepulauan Riau) di samping Kalimantan Barat melalui Mawardi Rivai (almarhum), Profesor Dr. Hj. Hashim Hamid di Brunei Darussalam, manakala Dr. Worawit Baru di Pattani. Di mana jua ada pertemuan yang dianjurkan GAPENA seperti Dialog Utara, Dialog Selatan, Pertemuan Dunia Melayu, Pertemuan Sasterawan Nusantara; maka adalah tokoh-tokoh tersebut yang merupakan ikon bangsa Melayu di tempat atau di daerah masing-masing. Tanpa ikon-ikon tersebut GAPENA tidak mampu memperluaskan ide kemelayuan dan keserantauan. Berkenalan dan berkawan dengan ATLS dan ikon-ikon Melayu serantau memberi semangat dan inspirasi kepada kami di dalam pergerakan GAPENA. Malah juga di dalam dunia akademik khasnya Akademi Pengajian Melayu untuk mensosialisasikan kemelayuan dan keserantauan ini di dalam perjuangan kami di Malaysia. ATLS banyak meniup obor semangat kepada kami, tulisan-tulisan beliau dan cara beliau membaca makalah memberikan kesegaran inspirasi kepada kami di GAPENA untuk meneruskan ide kemelayuan dan keserantauan ATLS. Di sebalik kemelut kebudayaan Malaysia-Indonesia, kesetia-kawan kami mengatasi segala-galanya. ATLS amat risau dengan kemelut berkenaan walau pun almarhum pada masa itu sedang menhadapi masalah kesihatan.
Ide kemelayuan dan keserantauan yang didokong GAPENA mendapat restu serta sokongan teman-teman di Indonesia. Ide ini merupakan kesinambungan ide Indonesia Raya (M. Yamin), Melayu Raya (Ibrahim Yaakob), Malaysia Erandenta (Wenceslao Vinzon dan Jose Rizal) malah Maphilindo (Macapagal, Seokarno dan Tunku Abdul Rahman) dan kini Dunia Melayu (Ismail Hussein) serta Dunia-Melayu Dunia-Islam (Ali Rustam).
Kesemua ide yang dikemukakan adalah kesinambungan nasionalisme yang berkembang di wilayah masing-masing di atas hasrat dan kesedaran bahawa Melayu itu bukan sekadar pengucapan keetnikan, tetapi juga kebangsaan dan kebudayaan serta keserumpunan juga keserantauan. ATLS telah menghasilkan satu magnum opus Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Utara (2006) terbitan Yayasan Kesultanan Serdang. Magnum opus beliau mempertegaskan bahawa beliau ialah seorang sejarahwan yang amat penting dan ulung di Sumatera Utara. Apabila ada teman-teman yang ingin mengkaji sejarah Melayu di Sumatera Utara, ATLS adalah rujukan atau nara sumber utama yang terpenting.
Karya berkenaan memperlihatkan titik persamaan antara ide kemelayuan di Sumatera Timur dengan Malaysia, Pattani dan Brunei Darussalam yang menegaskan Melayu Islam Beraja. Kemelayuan di Malaysia berasaskan kepada empat persoalan pokok iaitu Raja (Sultan), Islam, Bahasa Melayu dan Kebudayaan (Adat). Raja (sultan) adalah tonggak utama kemelayuan di Malaysia. Raja adalah kesinambungan sejarah masa lalu; walau pun kuasa dan autoriti raja sudah dikurangkan menjadi constitutional monarch (Raja Berpelembagaan).
Peruntukan Perlembagaan Persekutuan Malaysia (Konstitusi) mempertegaskan dan mengukuhkan kedudukan raja-raja Melayu, sehingga tercatat bahawa tiada apa peruntukan yang boleh merubah kedaulatan raja-raja (sultan-sultan) Melayu di Malaysia. Raja (sultan) menduduki hirarki tertinggi di dalam pemerintahan, Perdana Menteri dan Kabinet merupakan kuasa esekutif.
Persoalan Bahasa Melayu dan agama Islam juga termaktub di dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia. Malah di dalam Perlembagaan tersebut termaktub takrif Melayu menegaskan bahawa Melayu itu pada lazimnya berbahasa Melayu, pada lazimnya mengamalkan adat Melayu dan beragama Islam. Takrif ini termaktub secara konstitutional. Apabila seorang Melayu mengistiharkan diri keluar dari Islam, status Melayunya dengan sendiri gugur. Tidak ada takrif Cina dan India di dalam konstitusi Malaysia, namun ada takrif Bumiputera Sabah dan Sarawak. Di setiap negeri Melayu, terdapat takrif Melayu di dalam Perlembagaan negeri-negeri berkenaan. Di Malaysia, Melayu bukan sekadar satu etnik atau kaum tetapi satu bangsa. Kesedaran kebangsaan timbul apabila adanya perpaduan Melayu sebagai satu nation (negara bangsa) khasnya apabila gagasan Malayan Union (1946) yang dikemukakan British ditentang oleh seluruh Orang Melayu dari pelbagai negeri selepas Perang Dunia Kedua. Manakala di Indonesia, Melayu itu satu etnik yang ditakrif secara kultural, sedangkan di Brunei kedudukan Melayu konstitutional seperti Malaysia.
Kemelayuan terus menjadi lebih khusus kembali pada dekad-dekad 1970an sehingga kini. Apabila berlaku Peristiwa 13 Mei 1969, satu konflik etnik, Melayu dihina oleh Cina dan India. Selepas Pilihanraya Umum 1969, bangkit semacam kesedaran oleh pimpinan Melayu yang diketahui oleh Tun Abdul Razak Husin, untuk memajukan pembangunan pendidikan dan ekonomi, pembangunan sosial, kesihatan, dan pembangunan prasarana, untuk menghapus kemiskinan serta menyusun semula masyarakat. Ia adalah satu projek raksasa untuk meletakkan Melayu duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan Cina dan India di Malaysia. Projek raksasa yang merupakan satu rekayasa sosio-ekonomi (socio-economicreengineering) ini dikenali sebagai Dasar Ekonomi Baru, Dasar Pendidikan Kebangsaan dan Dasar Kebudayaan Kebangsaan.
Dari sudut pengkaji luar serta pengkaji Cina dan India Malaysia, projek raksasa ini merupakan Malay-Hegemony, hegemoni Melayu. Tindakan yang dilakukan bukan penghegemonian, tetapi meletakkan kembali kedudukan dan maruah Melayu yang telah dinafikan dari semenjak penjajahan British (1874-1957). Melayu diutarakan atau ditulis sebagai malas, kampungan, petani secukup hidup, miskin dan sebagainya. Kebijaksanaan Tun Abdul Razak Hussin (almarhum) dilanjutkan oleh Dr. Mahathir Mohammad. Dari semenjak 1970, dengan pemilikan kekayaan sekadar 2.4 persen, telah berubah menjadi 22 persen pada 2010. Penstrukturan kek ekonomi dan rekayasa sosio-ekonomi bukan bermakna merampas segala harta Cina dan India, atau memiliki, negarakan harta-harta mereka, tetapi di dalam suasana ekonomi berkembang membolehkan penstrukturan berlaku dan Melayu cuma mengharap dapat menguasai sekurang-kurangnya 30 persen kuih ekonomi negara pada 1990. Walau pun Melayu-Bumiputera merupakan 67 persen dari seluruh penduduk Malaysia Cina 25 persen, India 7 persen tetapi baki 70 persen kuih ekonomi itu untuk non-Melayu dan pelabur asing.
Di dalam kerangka memantapkan darjat dan harkat kemelayuan di Malaysia pelbagai tindakan telah diambil. Kekuatan sejarah masa lalu, khasnya di zaman Malay nation atau Malay polity turut digunakan untuk mengabsah segala hujah dari kalangan non-Melayu bahawa Malaysia cuma bermula pada 1957, dan Melayu dikatakan imigran juga seperti mereka. Kepada mereka Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Pattani, Champa mereka hujah sebagai wilayah asing seperti China dan India, sedangkan Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Pattani, dan Champa adalah wilayah kebudayaan Melayu (Malay cultural area), maka Melayu bukanlah pendatang atau imigran.
Kerangka kemelayuan ATLS turut dilakar oleh L.Y. Andaya (2008) dan Anthony Milner (2008). Andaya berpendapat bahawa lanskap kemelayuan berubah tertakluk kepada keupayaan dan kekuatan sesuatu kesultanan sekiranya Melaka lebih berwibawa maka kemelayuan akan meniru model Melaka. Milner pula menegaskan lanskap kemelayuan serantau bermula dengan ide Dunia Melayu Ismail Hussein yang merupakan satu kesedaran yang masih membara. Mereka membuktikan bahawa persoalan ini bukan sekadar berlaku di Tanah Melayu tetapi juga di Sumatera, khasnya di Sumatera Utara, Minangkabau, Aceh, dan Riau. Walau pun terdapat perbezaan namun lebih banyak persamaan. Semasa Masyarakat Sejarahwan Indonesia (MSI), berkerjasama dengan Persatuan Sejarah Malaysia (PSM) mengadakan Seminar Malaysia-Indonesia di Johor pada 2010, terdapat beberapa makalah yang amat menarik. Dari sejumlah makalah dapat dirumuskan dari sudut kemelayuan, amat sukar untuk menafikan bahawa wilayah teras kemelayuan adalah Tanah Melayu. Telah diketahui umum bahawa wilayah pesisir (maritim) Alam Melayu beragama Islam, kerana semua kerajaan (kesultanan) Melayu terdapat di wilayah persisir.
Di dalam kerangka kepentingan kemelayuan dan keserantauan saya petik dari satu tulisan saya di dalam kolum Cetusan GAPENA yang diterbitkan oleh Utusan Malaysia pada Oktober 2010.
Pada 1 – 3 Oktober 2010 di Johor Bharu telah diadakan satu persidangan mengenai Memori Kolektif Malaysia-Indonesia dengan tema ‘Pengalaman dan Iktibar dalam Hubungan Malaysia-Indonesia’. Persidangan dianjurkan oleh Persatuan Sejarah Malaysia (PSM) dan dirasmikan oleh YAB Menteri Besar Johor. Turut hadir di persidangan ialah rombongan dari Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) yang diketuai oleh Dr. Mukhlis PaEni. Persoalan memori kolektif ini juga sering diperkatakan oleh teman-teman di dalam GAPENA di dalam pelbagai wadah.
Terdapat suatu perkara yang amat menarik dari beberapa kertas kerja yang dibentangkan oleh teman-teman dari MSI. Mereka mengemukakan maklumat sejarah apa yang berlaku selepas kekalahan Melaka pada 1511 kepada Portugis. Maklumat ini perlu diketahui oleh semua peminat sejarah di Malaysia. Apabila Portugis bertapak di Melaka dan berusaha memonopoli perdagangan, para pedagang Melaka secara beransur-ansur berundur ke daerah lain. Sultan dan para pembesar berundur ke Johor dan Bentan (Riau). Para pedagang berundur ke sebelah timur Alam Melayu. Ada yang ke Tuban dan ada ke Grisik (Jawa), ke Goa (Makassar) dan seterusnya ke kepulauan Nusa Tenggara Timur (Indonesia).
Para pedagang yang berpindah ini mengidentifikasi diri mereka sebagai orang dari Melaka. Mereka menuju ke pantai barat Sumatera, Aceh dan Jawa serta Banten. Para pedagang Melayu Melaka mencari tempat perdagangan baru ke Makassar dan daerah perdagangan rempah di Maluku dan Timor, kerana di tempat seperti ini terdapat sumber-sumber perdagangan mereka.
Di Makassar menurut Mukhlis mereka mendapat kedudukan yang amat baik. Sewaktu Belanda menguasai Goa (Makassar) orang Melaka bukan sahaja terlibat aktif di dalam perdagangan, malah dilantik sebagai Kapitan Melayu. Bukan sahaja ada Melayu dari Melaka terdapat juga Melayu dari Pattani, Minangkabau dan barangkali Champa. Di Makassar ada perkampungan Melayu dan terdapat satu organisasi sosial bernama Kerukunan Keluarga Melayu Indonesia keturunan Melayu pada masa kini
Selain dari Melaka, Johor juga terdapat di dalam naratif orang Sambas (di Kalimantan Barat) dan Buton (di Sulawesi Tenggara). Kesultanan Sambas pada abad ke 15 memperolehi legitimasi dari Johor. Manakala di Buton pula diperikan oleh Hikayat Sepanjago bahawa terdapat putera raja dari Johor yang menubuhkan Kerajaan Buton pada abad ke 14. Faktor-faktor ini juga berlaku semasa penubuhan Kesultanan Manila di abad ke 15 apabila puteri Johor dikahwinkan dengan Sultan Syarif Kabungsuan serta iaitu sultan pertama Kesultanan Manila sebelum kedatangan Sepanyol. Begitu juga diperikan oleh naratif Brunei dan Mindanao.
Di Nusa Tenggara Timur, menurut Munandjar Widiyatumika, para pedagang Melaka memperkenalkan diri sebagai Sinan Mutin Melaka. Di dalam naratif Timur terdapat cerita asal-usul pedagang dari Melaka di Belu Selatan dan Belu Utara. Para pedagang Sinan Mutin Melaka menubuhkan kerajaan baru dikenali sebagai Wesei Wehali, sebuah kerajaan terbesar dan terkuat di Timur. Di Belu Utara ditubuhkan Kerajaan Lamaknen dan Kerajaan Jenilu. Dari Melaka mereka belayar dan membawa sama artifek seperti tanah, meriam, kelawang, gading, perhiasan dan gong yang kemudiannya menjadi artifak pusaka kerajaan yang dianggap suci dan dikeluarkan semasa pertabalan raja seperti yang berlaku di Kerajaan Melayu di Tanah Melayu. Regalia ini akan diarak untuk mengabsah raja yang bakal ditabal.
Maklumat yang diperolehi dan penelitian Dr. Inyo Yos Fernandes juga amat menarik, bahawa orang Melayu dari sebelah barat, iaitu dari Tanah Melayu dan Sumatera, telah berhijrah ke sebelah timur semenjak sebelum Srivijaya dan mereka juga menyebarkan bahasa Melayu di sebelah timur Alam Melayu, seperti di Flores, Maluku dan Timor. Bahasa Melayu menjadi bahasa maritim dan lingua franca di kawasan berkenaan. Di kawasan ini telah muncul varian bahasa Melayu seperti Melayu Kupang, Melayu Lamholot, Melayu Alor dan sebagainya. Dari sumber naratif seperti cerita lisan dan pantun membuktikan penyebaran bahasa Melayu sudah lama berlaku sebelum kemunculan kuasa Eropah di Alam Melayu.
Para pedagang Melayu mengambil tindakan yang amat berani untuk meneruskan perdagangan. Mereka mahu hidup dan meneruskan kelansungan perdagangan rempah dan cedana yang dihasilkan oleh kepulauan tersebut. Sedangkan di dalam konteks lain terdapat pedagang Melayu yang terpaksa menamatkan bidang perdagangan dan mengubah kehidupan sebagai petani di darat kerana seluruh terusan perdagangan seperti Selat Melaka, Selat Sunda dan lain-lain terusan di Alam Melayu sudah dikuasai orang Eropah. Mereka terus memonopoli perdagangan rempah. Tindakan perubahan berkenaan mentanikan mereka, dari pedagang maritim ke kehidupan tani.
Dari data-data berkenaan dapat diandaikan bahawa Melayu dan kemelayuan tetap kekal dan mantap wilayah teras iaitu di Tanah Melayu, Sumatera dan pesisir Kalimantan atau Brunei. Kemelayuan di Tanah Melayu bercirikan kepada raja/ sultan, agama Islam, bahasa dan adat (budaya). Semakin ia ke timur atau ke barat Alam Melayu, ciri kemelayuan yang kekal ialah agama Islam, bahasa dan adat. Di Indonesia pada masa kini, persoalan raja atau sultan bukan merupakan isu pokok semenjak Revolusi Sosial 1945. Difahamkan keturunan raja yang masih wujud diangkat sebagai ketua adat sahaja pada masa kini; seperti yang berlaku di Deli dan Serdang di Sumatera Utara, melainkan Jogjakarta.
Seperti yang sedia maklum di wilayah kepulauan Nusa Tenggara Timur lebih ramai yang bukan Islam dari Islam. Maka ciri kemelayuan yang khas di wilayah ini ialah bahasa Melayu sahaja. Memori Kolektif Malaysia-Indonesia cuma wujud di wilayah teras sahaja lantaran mewarisi kesejarahan yang hampir sama. Rasa keserumpunan disimpul oleh faktor kesejarahan dan kekerabatan. Hubungan kekerabatan berlaku lantaran orang Melayu-Jawa, orang Melayu-Banjar, di Malaysia sebagai contoh masih lagi mempunya saudara-mara dan pupu-poyang di tanah leluhur mereka. Di dalam kerangka nation-state atau negara-bangsa selepas penjajahan dan juga faktor kenegaraan, ide serumpun mungkin tinggal mitos atau tidak difahami. Keserumpunan mungkin hanya nostalgia belaka. Walau pun mitos dan nostalgia ia tetap diperkatakan seperti sahabat lama yang bertemu di dalam apa jua acara, akan sering nostalgia kepada keakraban masa lalu.
Di wilayah persisir ini telah wujud puluhan Kerajaan Melayu di dalam ruang sejarah, tetapi kini kerajaan Melayu yang masih wujud ialah di Tanah Melayu dan Brunei Darussalam. Namun di wilayah persisir ini juga, Islam, bahasa Melayu dan kebudayaan Melayu masih segar diamalkan. Semakin ke wilayah timur Alam Melayu seperti di Timur Timur persoalan agama Islam semakin menipis dan berkurangan kerana penyebaran agama Nasrani (Kristian). Bahasa Melayu (dialek) dan adat yang masih wujud. Maka begitu juga ke Barat (Madagaskar) dan ke utara Kemboja, atau ke Timur Laut seperti Filipina, khasnya Filipina Utara.
Walau pun di Sumatera dan daerah lain, semenjak revolusi sosial, kerajaan semakin berkurangan, namun ALTS melalui Forum Komunikasi Keraton-Keraton Indonesia (FKKKI) dan Festival Keraton Nusantara telah memberi makna baru kepada “kembalinya para sultan” bukan sekadar sebagai ketua adat, tetapi sebagai suatu kekuatan politik, sebuah kepimpinan yang berakar kepada masyarakat setempat (Davidson et.al, 2000). Forum ini bukan untuk bersaing dengan kuasa politik yang sedia ada tetapi para sultan di dalam FKKKI bijak memberi warna dan makna kepada peranan mereka di dalam politik lokal. Malah para ‘sultan’ atau Ketua Adat yang berperanan menentukan kandidat atau bakal pemimpin di Kebupaten dan Provinsi.
ATLS bersama GAPENA, DMDI dan lain-lain pergerakan kebudayaan dan Kesusasteraan Melayu telah memainkan peranan yang amat penting di dalam kerangka keserantauan. GAPENA mewujudkan Dialog-Utara bersama-sama Dewan Kesenian Sumatera Utara, Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) untuk mewujudkan jaringan (networking) antara para budayawan, sasterawan, dan seniman. GAPENA, Dewan Kesenian Riau (termasuk Kepri), Asas 50, Singapura, Persatuan Penulis Johor (PPJ) mewujudkan Dialog Selatan, merangka kaedah dan pendekatan yang sama. GAPENA bersama Lembaga Adat Melayu Kalbar, ASTERAWANI, Brunei Darussalam berserta para penulis Sarawak, Labuan, Sabah mengadakan Dialog Borneo-Kalimantan. Keserantauan adalah usaha GAPENA memperluas dan mempertegas pan-Melayu di Alam Melayu. Jika dahulu Ibrahim Yaakob, Wenceslao Vinzons, Macapagal, Soekarno dan Tunku Abdul Rahman adalah ikon pan-Melayu, maka kini ATLS adalah di antara pendiri dan ikon pan- Melayu Alam Melayu.
Di seluruh dunia memperkatakan regionalism, NAFTA (North America Trade Area), EU (European Union)adalah contoh regonalism. India, Pakistan dan Bangladesh juga mewujudkan regionalism yang sama, negara-negara Arab pun begitu juga, maka usaha GAPENA dan dokongan ikon seperti ATLS bukanlah politikal mau pun ekonomikal, tetapi suatu kesedaran kebudayaan yang berpaksikan kemelayuan dan keserantauan malah keserumpunan. Kita memerlukan ikon-ikon baru yang menjuarai perjuangan ini. Ikon-ikon baru tersebut perlu berjiwa besar mengutamakan isu-isu besar bukannya sepele atau remeh-temeh. Adalah amat diharapkan setiap tokoh dan ikon baru muncul di daerah dan wilayah masing-masing perlu berinteraksi serta mewujudkan hubungan peribadi dengan tokoh-tokoh dan ikon di wilayah dan daerah di tempat lain. Seandainya tokoh kita cuma seorang ahli politik dia akan berfikir dan bertindak untuk dirinya serta kepentingan masa singkat. Tetapi, jika dia seorang negarawan dia akan berfikir dan berjuang untuk nasib bangsanya 1000 tahun lagi. Maka Melayu serantau memerlu lebih ramai negarawan.
Semoga Allah mencucuri rahmat kepada Almarhum Tuanku Luckman Sinar. Semoga anak cucu kita menyedari dan mengingati bahawa Almarhum telah meninggalkan jasa dan baktinya. Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama yang baik. Al-Fatihah.
Kepustakaan
Andaya, Leonard, Y, 2008, Leaves Of The Same Tree, Trade And Ethnicity In The Straits Of Malaka, University of Hawaii Press.
Davidson, Jamie , S, et. al. ed., 2010, Adat Dalam Politik Indonesia, KITLV-Jakarta dan Pustaka, Yayasan Obor Indonesia.
Milner, Anthony, 2008, The Malays, Wiley-Blacwell, United Kingdom.
Tuanku Luckman Sinar Basar Shah II, 2006, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Utara, Yayasan Kesultanan Serdang, Medan.
____________, 1995, Pantun dan Pepatah Melayu, LPPSBM-MABMI, Medan.