
fskefibusu.pdf | |
File Size: | 2830 kb |
File Type: |
DARI FAKULTAS SASTRA KE FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA:
KESINAMBUNGAN, PERUBAHAN, DAN POLARISASI ZAMAN
Oleh: Muhammad Takari
Fakultas Ilmu Budaya USU
Pengantar
Sejak Maret 2010, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (FS USU) di Medan telah berganti nama dari Fakultas Sastra ke Fakultas Ilmu Budaya (FIB) USU. Perubahan nama ini, mengalami proses yang panjang, yang dimulai dari masa jabatan Dekan Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D., yang kemudian dilanjutkan ke masa Prof. Wan Syaifuddin, M.A., Ph.D., dan baru disetujui oleh pimpinan USU pada masa Dekan Dr. Syahron Lubis, M,A.
Wacana dan pergolakan tentang perubahan nama fakultas ini menjadi begitu panjang dan lama, tidak lain adalah akibat dari terjadinya tarikan-tarikan antara fihak yang tetap menginginkan nama Fakultas Sastra USU dan pihak yang ingin perubahan menjadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) USU, atau kalangan yang beridri di titik tengahnya. Juga ada kalangan yang tidak perduli apakah mau berubah namanya atau tidak. Namun akhirnya, terjadilah perubahan nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya USU.
Berdasarkan kenyataan tersebut, para pimpinan FIB dan USU sendiri telah memperhatikan dan mempertimbangkan manfaat akademis, saintifik, dan manajemen yang ingin dicapai dari perubahan nama ini. Perubahan nama bukan hanya sampai di situ saja. Ini akan mengakibatkan juga kepada perubahan visi, misi, dan tujuan fakultas. Selain itu, perubahan yang terjadi hendaklah disertai pula dengan perubahan paradigma, sikap, dan hasil saintifik, yang akhirnya dapat melesatkan FIB USU menjadi satu fakultas yang cemerlang, disegani, dan terdepan dalam bidang ilmu budaya di peringkat nasional maupun internasional.
Perubahan yang dituju bukanlah yang bersifat revolusioner, artinya melenyapkan yang lama, dan menggantikannya dengan yang sama sekali baru. Perubahan yang dilakukan ini sebenarnya berdasar kepada polarisasi zaman, dan tetap melakukan kontinuitas apa yang telah dilakukan institusi ini sejak 1965 sampai awal tahun 2011 ini. Banyak hal-hal baik yang perlu diteruskan dari era nama FS USU ke era FIB USU. Bagaimanapun, FS USU selama ini memiliki jati diri yang kuat dalam bidang-bidang ilmu bahasa, sastra, sejarah, seni, perpustakaan, dan pariwisata. Di antara jati dirinya adalah menampilkan budaya khas Sumatera Utara dalam kurikulumnya, misalnya di Departemen Sastra Cina dimuat matakuliah Bahasa Hokkian, di Departemen Sastra Daerah ada mata kuliah yang berteras budaya Batak dan Melayu, seperti contoh Tradisi Berpantun Batak dan Tradisi Berpantun Melayu. Begitu juga dengan Departemen Etnomusikologi yang mengembangkan kurikulumnya berdasarkan kenyataan seni budaya Sumatera Utara, Sumetera, Nusantara, dan Dunia, dalam konteks bersaing secara nasional dan internasional para lulusannya. Demikian pula dengan Program Studi lainnya seperti Inggris, Jepang, Periwisata, Indonesia, yang memiliki kekhasan dan keunikannya masing-masing dalam rangka menghasilkan lulusan yang berjiwa Pancasila dan berkompetensi di bidangya masing-masing. Para alumni FS USU juga mampu menjadi lokomotif terdepan di bidang ilmu budaya, dalam konteks persaingan sehat pasar kerja, baik secara nasional maupun internasional. Hal ini perlu diteruskan dalam konteks perubahan nama dan paradigma dari FS USU ke FIB USU.
Dalam lingkup nasional antara Fakultas-fakultas Sastra dan Ilmu Budaya telah melakukan kerjasama yang disebut dengan Forum Sastra dan Budaya (FSB) yang diselenggarakan dua tahun sekali. Mengambil tempat secara bergantian. Peranan FS USU juga cukup menonjol dalam forum tersebut. Salah satu sumbangan yang diberikan FS USU adalah sebagai tuan rumah FSB IV di Medan tahun 2007 lalu. Dalam forum ini disepakati secara umum bagaimana arah pendidikan Fakultas Sastra/Ilmu Budaya di seluruh Indonesia. Selain itu tim FS USU mendisain logo FSB dan disetuji oleh para peserta forum. Ini membuktikn bahwa FS USU tidak diam, bahkan menjadi penggerak utama pengembangan institusi sastra dan budaya di peringkat Perguruan Tinggi di Indonesia. FS USU juga tidak hanya bekerjasama di peringkat nasional, tetapi juga di tingkat internasional. FS USU sejak dasawarsa 1980-an sampai sekarang telah menjalin memorandum saling pengertian (Memorandum of Understanding/ MoU) dengan universitas-universitas di luar negeri seperti Jinan University, Republik Rakyat China; Universiti Malaya (UM) Malaysia, Universiti Sains Malaysia (USM), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Prince Songkhla University, Monash University, Philipine National University, dan lain-lainnya. Semua ini adalah upaya untuk meningkatkan kualitas dan manajemen FS USU.
Dalam konteks pendidikan ilmu-ilmu budaya di Indonesia, sejak merdeka sampai di era 1990-an, di peringkat perguruan tinggi diasuh di bawah Fakultas Sastra, seperti yang terdapat di Universitas Sumatera Utara, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, dan lain-lainnya. Ada juga yang menggunakan istilah Fakultas Sastra dan Kemanusiaan. Di Universiti Kebangsaan Malaysia (USM) digunakan istilah Fakulti Ilmu Kemanusiaan.
Sejak dekade 1990-an hingga sekarang dunia pendidikan di seluruh dunia mulai menggunakan istilah kajian kebudayaan (cultural studies) untuk ilmu-ilmu dimaksud. Kecenderungan ini membuat beberapa universitas di Indonesia mengubah nama fakultas sastra menjadi fakultas ilmu budaya atau fakultas ilmu pengetahuam budaya. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu-ilmu budaya baik di peringkat internasional maupun nasional. Selain itu dalam konteks kekinian, makna sastra juga mengalami penyempitan, maka para pakar lebih cenderung memilih istilah ilmu budaya untuk bidang-bidang disiplin dimaksud. Inilah yang menjadi alasan mengapa Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (FS USU) akan mengubah istilah Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB USU). Perubahan ini juga akan mempengaruhi isi (muatan kurikulum) yang akan dirancang dan dilaksanakan. Namun sebelumnya kita lihat dahulu latar belakang kesejarahan berdirinya Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Sejarah Singkat Berdirinya Fakultas Sastra
Berdirinya Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, diawali dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan Nomor: 190/1965, terhitung mulai 25 Agustus 1965. Pendirian Fakultas Sastra adalah gagasan dan arahan akademik dari dua belas orang staf pengajar Universitas Sumatera Utara, yakni: (1) Prof. Mahadi, S.H.; (2) Dr. Septy Ruzui; (3) Drs. Sabaruddin Ahmad; (4) T. Mahmuddin; (5) Dr. Rustam Amir Effendi, M.A.; (6) Drs. Burhanuddin Ch. Usman; (7) Prof. A. Hamid Hasan Lubis; (8) Drs. Chairuddin Rahman; (9) Drs. Danil Ahmad, DPFE; (10) Drs. Syahdan Manurung, DPFE; (11) Drs. Abubakar; dan (12) Drs. Tasrir Ismail.
Pada awalnya, di tahun 1965, Fakultas Sastra hanya mempunyai satu jurusan yakni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan jumlah mahasiswa 45 orang. Kemudian pada awal tahun 1966, Fakultas Sastra memperoleh gedung sendiri yang terletak di bahagian depan Sekolah Taman Kanak-kanak Dharma Wanita USU. Karena gedung ini sangat kecil, setahun kemudian Fakultas Sastra mendapat tambahan gedung bekas Pekerjaan Umum di Jln. Prof. Muhammad Yusuf. Ini pun dirasa masih juga sangat minim dan tidak memenuhi syarat untuk perkuliahan, karena ruangannya hanya empat buah, dua ruang untuk perkuliahan dan dua ruang untuk administrasi.
Pada tahun 1966 dibukalah Jurusan Sastra Inggris. Tahun 1967 Fakultas Sastra dipindahkan ke Gedung Pancasila (sekarang Gedung Pendopo USU), luasnya sudah memenuhi syarat untuk kegiatan akademik, tetapi ada kendala yaitu mengenai air dan lampu yang tidak memadai. Pada tahun 1968 dibuka Jurusan Sejarah, tetapi belum ada kegiatan karena mahasiswanya belum ada dan pada tahun 1970 adalah tahun pertama menerima mahasiswa. Tahun 1972 Fakultas Sastra memperoleh tiga unit gedung permanen. Tahun 1979 dibuka Jurusan Sastra Daerah untuk Sastra Melayu dan Sastra Daerah untuk Sastra Batak. Pada tahun ini juga dibuka Jurusan Etnomusikologi sebagai satu-satunya yang ada di Indonesia sampai tahun 1989. Sampai saat ini, Departemen Etnomusikologi juga masih menjadi satu-satunya Departemen (Program Studi) yang membidangi disiplin etnomusikologi di Indonesia, yang operasionalnya di bahwah universitas. Dalam konteks Indonesia, Program Studi Etnomusikologi operasionalnya di bawah Institut Seni Indonesia (seperti di ISI Padangpanjang, IKJ Jakarta, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, ISI Denpasar, dan lainnya). Jurusan ini banyak sekali mendapat perhatian dan bantuan terutama dari Ford Foundation Jakarta antara lain beasiswa bagi mahasiswa dan staf pengajar serta bantuan tenaga konsultan.
Selanjutnya pada tahun 1980 dibuka Program Studi S1 Bahasa Arab, Jurusan Antropologi, dan Jurusan Ilmu Perpustakaan, namun pada tahun 1983 Jurusan Ilmu Perpustakaan ditutup dan sebagai gantinya dibuka Program Studi D3 Perpustakaan. Sedangkan Jurusan Antropologi dipindahkan ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU sesuai dengan SK Rektor USU No. 163/PTO5/SK/O/86 tanggal 4 Mei 1986.
Pada tahun 1986 Fakultas Sastra mendapat bantuan dari Pemerintah Daerah Kotamadya Medan berupa satu unit gedung untuk perkuliahan/praktik Jurusan Etnomusikologi, yang diberi nama Faviliun Amir Hamzah (FAH). Tahun 2003 mendapat tambahan satu unit gedung bekas USU Press yang pada tahun 2004/2005 digunakan untuk gedung perkuliahan dan administrasi PS S1 Sastra Jepang Reguler/Mandiri, D3 Bahasa Jepang, dan D3 Pariwisata. Tahun Akademik 2007/2008 dibuka Departeman baru yakni Program Studi Sastra China. Departemen ini melakukan kerjasama akademik dengan Jinan University, Guangzhou, Republik Rakyat China.
Selain itu, di peringkat S-2, Fakultas Sastra sejak tahun ajaran 2009-2010 atas izin Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, telah membuka Program Studi S-2 (Magister) Penciptaan dan Pengkajian Seni yang langsung dikelola oleh fakultas. Namun selain itu sejak dekade 1990-an sudah berdiri Program Magister (S2) dan Doktor (S-3) Linguistik, yang secara keilmuan berkait dengan Fakultas Sastra, namun pengelolaannya di bawah Sekolah Pascasarjana (PPs) USU.
Untuk melaksanakan kebijakan pembangunan nasional di bidang pendidikan secara sistematis, Fakultas Sastra perlu menyusun rencana strategis tahun 2005-2009, dan diteruskan ke 2010-2015. Hal ini merupakan bagian atau penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM, 2005-2009) yang telah ditetapkan melalui peraturan Presiden Nomor 7/2005. Rencana Strategis disusun untuk menjadi pedoman bagi pengelolaan pendidikan pemerintah pusat, daerah, masyarakat dan satuan pendidikan untuk merencanakan dan melaksanakan program-program pembangunan pendidikan serta mengendalikan hasil-hasilnya selama kurun waktu tersebut.
Bagi Fakultas Sastra, rencana strategis ini disusun untuk menjadi pedoman Fakultas Sastra dalam mendukung dan melaksanakan pembangunan pendidikan nasional melalui pelaksanaan Tri Dharma perguruan tinggi di Universitas Sumatera Utara. Dengan adanya Rencana Strategis ini maka diharapkan Fakultas Sastra dapat melaksanakan program dan kegiatan secara berkelanjutan yang lebih sinkron dengan kebijakan daerah serta pembangunan nasional dan menjadikan Fakultas Sastra sebagai fakultas yang berdaya saing tinggi.
Adapun landasan Hukum dan Bahan Rujukan Renstra Fakultas Sastra adalah sebagai berikut.
a. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
b. Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2003 tentang Penetapan Universitas Sumatera Utara sebagai Badan Hukum Milik Negara.
c. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 114/ MPN.A4/KP/ 2004 tentang pengangkatan Majelis Wali Amanat USU.
d. Keputusan Majelis Wali Amanat USU No.1/SK/MWA/ I /2005 tentang Anggaran Rumah Tangga USU.
e. Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005-2009.
f. Rencana Strategis Universitas Sumatera Utara 2005-2009.
Kesinambungan dan Dasar Filsafat Keilmuan
Dari gambaran di atas terlihat dengan jelas bahwa Fakultas Sastra cukup memiliki peran penting dalam memantapkan dasar ilmu kemanusiaan dan mengembangkannya bagi kepentingan akademik itu sendiri dan masyarakat secara luas. Dalam hal ini Fakultas Sastra perlu melakukan kesinambungan secara berkala semua program tri dharma perguruan tingginya. Dalam bidang pendidikan, sistem yang digunakan dari sistem tingkat menjadi sistem kredit semester (SKS) yang dipakai sampai hari ini, merupakan hasil pergulatan akademik, yang terus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Begitu juga dengan kurikulum yang dirancang dan dikembangkan secara berkala (lima tahunan), merupakan keinginan untuk melakukan kesinambungan dan perubahan.
Kesinambungan perlu juga memperhatikan perkembangan keilmuan, khususnya ilmu-ilmu humaniora yang berkembang baik di tingkat daerah, nasional, maupun internasional. Kesinambungan akan memberikan stabilitas keilmuan bagi fakultas ini. Kesinambungan perlu dijaga dan diberi perhatian dari masa ke masa, agar segala perubahan tetap di jalur utama, tidak merusakkan apa yang telah disepakati dan dirintis berdasarkan dibukanya fakultas ini. Yang penting terus dijaga adalah dasar filsafat didirikannya Fakultas Sastra yang kini telah berubah menjadi Fakultas Ilmu Budaya.
Sebagai disiplin ilmu-ilmu budaya tentu saja harus berdasar kepada tiga esensi dasar dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, yaitu epistemologis, aksiologis, dan ontologis. Dalam filsafat dikenal dua istilah yang saling berkaitan, tetapi memiliki makna yang berbeda yaitu istilah pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan (ilmu atau sains) yang berasal dari bahasa Inggris science. Pengetahuan adalah istilah yang digunakan dalam filsafat yang berarti belum sampai kepada tahap ilmu pengetahuan. Filsafat sendiri dapat diartikan sebagai cara berpikir yang radikal dan menyeluruh—suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya (Suriasumantri 1984:4).
Ilmu pegetahuan adalah sebuah disiplin yang mempunyai tahapan-tahapan dan prosedur-prosedur tertentu, yang sering disebut ilmiah. Di antaranya adalah rasionalisme, empirisme, determinisme, hipotesis dan pembuktian, asumsi, pengamatan (observasi), penelitian, pengolahan data, temuan, dan lain-lainnya (Denzim dan Lincoln 1995)
Dalam ontologis biasanya dipertanyakan apa yang ingin kita ketahui. Seterusnya dalam epistemologis dipertanyakan tentang bagaimana kita mengetahuinya. Sedangkan pada aksiologis ditanyakan nilai apa yang berkembang pada pengetahuan yang kita ketahui.
Ketiga dasar filosofis ini tentu saja dapat diaplikasikan dalam menjawab munculnya ilmu-ilmu budaya di tengah-tengah ilmu pengetahuan yang bersifat saintifik. Secara ontologis ilmu-ilmu budaya digunakan oleh para ilmuwannya untuk mengetahui kebudayaan. Secara filosofis mengetahui kebudayaan tujuan akhirnya adalah mengetahui bagaimana manusia yang menggunakan dan mendukung kebudayaan itu.
Secara epistemologis pula ilmu-ilmu budaya mestilah memiliki teori dan metode. Teori adalah panduan dasar dalam memecahkan dan memerikan fenomena kebudayaan. Teori menjadi alat untuk menganalisis. Namun untuk mengembangkan ilmu dibutuhkan penemuan dan pembaharuan teori di kalangan ilmuwan budaya atau ilmu terkait secara terus-menerus. Sementara metode digunakan untuk mendukung kerja penelitian dan analisis. Metode yang baik dapat mempermudah kerja etnomusikolog dan memperoleh hasil yang terverifikasi. Teknik kerja dalam ilmu-ilmu budaya tampaknya sangat diwarnai dan didukung oleh penemuan teknologi terkini. Oleh karenanya ilmuwan budaya haruslah menguasai teknologi terkait, bukan gagap teknologi (gaptek).
Kemudian secara aksiogis, yaitu nilai-nilai apa yang terkandung dalam disiplin ilmu-ilmu budaya, harus diletakkan sejak awal beridirinya disiplin ini. Nilai-nilai, sasaran dan tujuan ilmu-ilmu budaya tidak berbeda menariknya dengan disiplin-disiplin lain, seperti dalam ilmu-ilmu eksakta dan sosial. Budaya adalah fenomena manusia secara universal dan budaya ini dalam filsafat berjasa dalam studi terhadap kebenaran itu sendiri. Kepentingan manusia yang akhir kali adalah manusia itu sendiri, dan budaya itu adalah bagian dari apa yang ia lakukan dan bagian dari apa yang ia studi terhadap dirinya sendiri. Namun kepentingan yang sama adalah fakta bahwa budaya adalah sebagai tata tingkah laku manusia, dan ilmuwan budaya mempunyai andil baik itu dengan ilmu pengetahuan sosial atau humaniora, menjangkau suatu pengetahuan kenapa manusia bertata tingkah laku budaya seperti itu.
Mengapa Harus Berubah?
Adapun pengubahan nama Fakultas Sastra ke Fakultas Ilmu Budaya USU dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikit. (a) Bahwa secara global atau internasional terjadi kecenderungan secara keilmuan bahwa ilmu-ilmu yang terangkum dalam Fakultas Sastra, diberikan wadah dalam istilah ilmu budaya (cultural sciences) atau ilmu kemanusiaan (humanity sciences). Hal ini dapat dilihat dari seluruh universitas yang mengasuh ilmu ini di seluruh dunia.
Selain itu, (b) budaya adalah bersifat dinamik, dan memerlukaan telaahan atau kajian ilmiah sesuai dengan dinamikanya. Oleh karena itu, dirasakan sangat perlu mengubah nama dan isi Fakultas Sastra USU menjadi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (FIB USU), sesuai dengan dinamika kebudayaan baik di tingkat daerah, nasional, maupun internasional.
(c) Pengubahan nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya atau Ilmu Pengetahuan Budaya juga telah dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Udayana (Unud), Universitas Lancang Kuning (Unilak), dan lain-lainnya. Kini sedang dirintis pula pengubahan nama ini di beberapa Fakultas Sastra seperti di Universitas Andalas dan USU sendiri. USU juga termasuk ke dalam Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) yang memiliki otonomi lebih luas untuk mengembangkan universitas ini, seperti halnya UGM dan UI. Selama ini Fakultas Sastra USU juga telah melakukan dialog intens baik secara formal maupun nonformal dengan universitas-universitas tersebut di atas. Dari dialog ini terbersit secara eksplisit adanya keinginan dan kesamaan persepsi untuk mengubah nama fakultas sastra menjadi fakultas ilmu atau ilmu pengetahuan budaya. Bahkan di kalangan Fakultas Sastra dan Ilmu Budaya, setiap dua tahun sekali diadakan forum dialog yang diberi nama Forum Sastra/Budaya. Pada tahun 2006, Fakultas Sastra USU menjadi tuan rumah. Salah satu materi bahasan adalah mengubah nama fakultas sastra menjadi fakultas ilmu budaya, walaupun ada yang menolaknya, namun secara umum ada kecenderungan untuk mengubahnya.
Selain itu dari dialog-dialog antar universitas ini, tergambar bahwa perubahan nama harus pula mengubah isi dan polarisasi ilmu-ilmu budaya dan lebih bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu salah satu yang perlu diubah adalah kurikulum yang lebih luas menjangkau kecenderungan dinamika perubahan budaya. Seperti Universitas Lancang Kuning memasukkan mata kuliah Industri Kebudayaan; Sastra Siber; Budaya Populer; Manusia dan Dinamika Sosial, dan lainnya.
(d) Dari pengalaman universitas-universitas yang mengubah namanya, maka dapat dipastikan bahwa pengubahan nama ini akan berdampak positif, bagi memperoleh dana-dana penelitian yang bukan hanya di bidang sastra tetapi juga mencakup bidang budaya dan sosial, seperti penelitian budaya masyarakat suku terasing, penelitian budaya populer, dan lain-lainnya.
(e) Menurut penjelasan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning Riau, dengan pengubahan nama dan isi Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya Unilak, maka kerjasama dengan pihak Pemerintah Daerah lebih mudah dilakukan dan bidang kerjasama juga bisa lebih luas, tidak sekedar sastra atau linguistik saja. Hal ini menjadi alasan dan landasan akademik pula mengapa Fakultas Sastra USU akan mengubah nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya USU.
(f) Dari keberadaan Fakultas Sastra USU sendiri, yang memiliki aneka ragam ilmu, yang strata satunya saja memiliki tiga gelar kesarjanaan yaitu Sarjana Sastra untuk Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Bahasa Arab, Sastra Daerah, dan Sejarah. Kemudian Sarjana Seni untuk Departemen Etnomusikologi, dan Sarjana Sosial untuk Ilmu Perpustakaan. Secara akademik dan saintifik lebih terpayungi oleh Fakultas Ilmu Budaya dibanding Fakultas Sastra. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa dan kenapa Fakultas Sastra akan diubah menjadi Fakultas Ilmu Budaya USU. Untuk mendukung realitas sosial keilmuan, perlu pula dipaparkan apa pengertian sastra dan pengertian budaya, dari sumber-sumber pustaka seperti berikut.
Konsep Sastra dan Budaya: Titik Temu dan Perbedaannya
Istilah sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta (Sanskrit); akar kata biasanya menunjukkan adat, sarana. Maka itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Awalan su berarti baik, indah, sehingga susastra dapat dibandingkan dengan belles-lettres (Teeuw, 1988:23).
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1966:882) makna sastra ini melingkupi lima hal seperti diuraikan berikut ini: (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapan; (3) Kitab Suci Hindu, kitab ilmu pengetahuan; (4) pustaka, kitab primbon (berisi ramalan, hitungan dan sebagainya); dan (5) tulisan, huruf.
Sastra (Sanskerta shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti teks yang mengandung instruksi atau pedoman, berasal dari kata dasar śās- yang berarti instruksi atau ajaran. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada kesusastraan atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa. Yang termasuk dalam kategori sastra adalah: novel, cerita dan cerpen, syair, pantun, sandiwara atau drama, dan kaligrafi (wikipedia.org).
Makna kata sastra seperti tersebut di atas menekankan pengertiannya kepada budaya tulisan, seperti kitab, buku, karya tulis, kitab suci, tulisan, dan hitungan. Sementara yang dikaji di Fakultas Sastra USU dan di universitas-universitas lain adalah budaya dengan ilmunya ilmu budaya atau ilmu kemanusiaam. Selanjutnya kesusastraan dapat dimaknakan sebagai karya tulis yang jika dibandingkan dengan yang lain memiliki berbagai ketentuan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapan. Kesastraan, perihal sastra (maknanya lebih luas daripada kesusastraan). Sastrawan, (1) ahli sastra, (2) pujangga, pengarang prosa dan puisi, (3) (orang) pandai-pandai, dan cerdik cendekia.
Dengan demikian, pengertian sastra seperti terurai di atas, memang tidak mencakup keseluruhan unsur kebudayaan universal, seperti yang dikaji dalam ilmu-ilmu budaya. Pengertian sastra seperti itu pengertian dan ruang lingkupnya lebih kecil dari ruang lingkup ilmu-ilmu budaya. Ada pengertian yang bernuansa antara sastra dan budaya. Dari perspektif ilmu budaya, sastra adalah salah satu bidang kajiannya saja, tidak mencakup hal-hal kultural maupun sosiologis secara meluas. Untuk itu perlu pula diuraikan makna budaya atau ilmu budaya seperti beriku tini.
Definisi Budaya dan Peradaban
Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta yaitu buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti ”budi atau akal.” Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Namun ada pendapat yang mengatakan bahwa kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi daya yang berarti daya dari budi. Karena itu mereka membedakan istilah budaya dari kebudayaan. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culturejuga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merubah alam. Sedangkan pengertian kebudayaan menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Untuk memperkuat dan memperluas cakrawala tentang budaya ini beberapa pakar mengemukakan pendapat mereka tentang makna atau arti kebudayaan (budaya) seperti berikut. Menurut para pakar dan pemikir budaya dari dalam negeri, yaitu: (a) Parsudi Suparlan (2003), kebudayaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya Kemudian menurut(b)Koentjaraningrat (1990), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Dalam kajian budaya, sering pula dikenal istilah peradaban (sivilisasi), yaitu unsur-unsur kebudayaan yang maju, halus, dan tinggi (lihat Webster’s 1960 dan L.H. Morgan 1877). Kata ini, biasa merujuk kepada peradaban-peradaban seperti: Sumeria, Assiria, Indus, Babilonia, Inca, Oriental, Oksidental, Harappa, Mahenjo-Daro, dan lain-lain. Istilah peradaban itu sendiri merupakan unsur serapan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab yaitu dari akar kata adab. Umumnya pengertian budaya menurut para ilmuwan Barat seperti yang dikemukakan dalam antropologi dan sosiologi, adalah bahwa agama atau sistem religi sebagai bagian dari unsur kebudayaan yang sejajar dengan unsur budaya lain. Dalam Islam, agama memiliki dimensi Ilahiyah atau wahyu, dalam dimensi sedemikian rupa tidak termasuk dalam budaya, bahkan budaya wajib berasaskan kepada wahyu. Sebaliknya, kreativitas manusia dalam rangka mengisi budaya dapat dikategorikan sebagai budaya.
Istilah kebudayaan memang tak asing bagi kita khususnya yang berkecimpung di dunia ini, apakah itu sebagai agamawan, budayawan, seniman, penikmat budaya, pelaku budaya dan seni dan lainnya. Namun kita juga sering bertanya apakah setiap agama, masyarakat, ras, dan etnik, memiliki persepsi sendiri tentang kebudayaan. Apakah terdapat persepsi yang sifatnya umum atau khusus dalam memandang budaya? Begitu juga halnya dengan agama Islam. Bagaimaan konsep kebudayaan dalam pandangan Islam? Dalam Islam, jika dibicarakan istilah kebudayaan, biasanya selalu merujuk kepada kandungan makna pada kata-kata atau istilah yang sejenis. Adapun padanan kata budaya itu adalah: millah, ummah, tahaqafah, tamaddun, hadharah, dan adab. Istilah ini dipakai dalam seluruh kurun waktu sepanjang sejarah Islam.
Terminologi millah (), yang bentuk jamaknya milal (), terdapat dalam Al-Qur’an, yang digunakan untuk merujuk keadaan kebudayaan yang berhubungan dengan syariat Nabi Ibrahim Alaihissalam. Millah artinya adalah agama, syariat, hukum, dan cara beribadah. Millah seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, maknanya ditujukan umat Islam, atau golongan manusia yang suci, yang berpegang teguh kepada agama Allah, serta mengamalkan sistem syariat, serta meraka yang menjalankan tugas-tugas rohaniah dalam hidup dan peradabannya.
Dalam konteks sejarah, Nabi Ibrahim Alaihissalam adalah peletak dasar agama monoteisme yang hanya menyembah kepada Tuhan yang Ahad. Ia menyatakan dengan tegas bahwa adalah perbuatan salah bila manusia menyembah sesuatu selain Allah, misalnya patung. Maka ia pun dihukum dengan cara dibakar api oleh penguasa negeri saat itu, yaitu Raja Namruz. Namun dengan kuasa Allah akhirnya ia tidak terbakar. Nabi Ibrahim melakukan penyucian akidah umat melalui ajaran-ajaran Allah. Ia termasuk salah seorang Rasul yang Ulul Azmi (lima dari dua puluh lima Rasul yang memiliki “keistimewaan”).
Selain itu, ada sebuah istilah lagi yang lazim digunakan dalam Islam, dalam kaitannya dengan kebudayaan, yaitu ummah. Istilah ini mengandung makna sebagai orang-orang muslim dalam bentuk masyarakat kolektif. Istilah ini yang pluralnya adalah umam dipergunakan dalam Al-Qur’an untuk menyebut umat Islam, sebagai umat terbaik.
Pengertian di dalamnya ialah bahwa umat Islam itu ialah golongan manusia yang suci, mukaddas, bukan sekuler atau profan, tanpa tujuan-tujuan—memiliki sifat-sifat pelaksana ajaran dan syariat Tuhan. Umat umumnya memiliki sifat ma’mum, yaitu terpimpin. Pimpinan disebut imam. Dalam sejarah Islam, pemimpin tertinggi ialah Rasulullah S.A.W. Dalam menjalani kehidupannya, umat itu wajib melaksanakan syariat, yaitu asas agama untuk mengarahkan kehidupan yang ditentukan dalam tanzil, wahyu yang diturunkan, bukan berdasarkan semata-mata kepada pemikiran sendiri. Hidup mereka meniru Rasulullah S.A.W. Umat Islam wajib menjadi contoh kepada segenap umat manusia di dunia. Dengan demikian, umat Islam berarti kumpulan manusia yang mendasarkan hidupnya kepada syariat Ilahi, dengan pimpinan suci, dan membentuk kumpulan manusia yang berkedudukan suci, bukan mengutamakan aspek keduniawian, serta berada dalam dimensi transenden.
Perkataan ummah diambil dari bahasa Arab umm yang artinya ibu. Di dalam Al-Qur’an terdapat 64 kali perkataan ummah, 13 di antaranya menggunakan kata jamak umam. Jika dilihat dari penggunaan kata ummah di dalam Al-Qur’an, maka kata ini memiliki beberapa pengertian. Perkataan ummah juga diartikan sebagai sebuah masyarakat yang bertanggung jawab terhadap keutuhan kelompoknya, yaitu menjalankan hak dan memperjuangkan keadilan (Quran 7:159). Sebagai contoh Nabi Ibrahim dianggap sebagai seorang umat yang beriman kepada Allah dan menjalankan tanggung jawabnya sebagai rasul kepada kaumnya. Begitu juga dengan kaum Nabi Musa yang mengikuti perintah Allah, melakukan kebaikan dan menjauhi kemungkaran.
Sergeant (dalam Abdullah Al-Ahsan 1992:12) berpendapat bahwa kata ummah telah ada sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Namun penjelasan mengenai ummah di dalam Al-Qur’an, adalah membicarakan tentang manusia yang datangnya dari satu komunitas (ummatan wahdatan Q.S. 10:19), yang berasal dari Adam dan Hawa disertai dengan kisah-kisah tentang umat terdahulu yang tidak mempraktikkan bagaimana kondisi ummah yang sebenarnya. Setelah Nabi Muhammad diutus sebagai Nabi akhir zaman, Rasulullah mengenalkan konsep ummah ini berlandaskan ajaran Islam, hingga digunakan terus hingga sekarang.
Dalam ajaran Islam perpaduan ummah tidak bermakna bahwa masyarakat Islam melupakan kaum (etnik, suku, bangsa) mereka. Selain itu, mereka harus menerima kaum dan bangsa lain sebagai saudara mereka. Misalnya Nabi Muhammad tetap mengingat dirinya dari Bani Hasyim dan bersuku Quraisy. Selain itu Nabi Muhammad juga selalu mengingatkan kaumnya yang telah memeluk Islam untuk menghormati dan menyayangi keluarga mereka yang bukan Islam, serta menunjukkan akhlak mulia kepada mereka.
Dalam konteks sejarah Islam, meskipun konsep ummah yang dikenalkan oleh Rasulullah pengertiannya merujuk kepada umat Islam, namun beliau mengijinkan bangsa Yahudi dan lainnya tinggal di Madinah. Mereka dijamin keselamatannya dan diperbolehkan mengamalkan ajaran agamanya selagi mereka tunduk kepada undang-undang Perlembagaan Negara Islam. Kaum Yahudi Medinah ini disebut dengan sebutan terhormat ummah ma’al al-muslimin (umat bersama orang Islam). Konsep ummah yang ingin dituju oleh Islam adalah sebuah kelompok masyarakat yang beriman kepada Allah, Rasul-rasul dan kitab-Nya bersatu di bawah panji Islam menjadi komunitas terbaik tanpa menonjolkan jenis bangsa, bahasa, ras, warna kulit, dan negeri.
Kata lain yang maknanya merujuk kepada kebudayaan dalam Islam adalah atahaqafah (), yang biasanya digabung dengan al-Islamiyah, artinya adalah keseluruhan cara hidup, berpikir, nilai-nilai, sikap, institusi, serta ertifak yang membantu manusia dalam hidup, yang berkembang dengan berasaskan kepada syariat Islam dan sunnah Nabi Muhammad.
Dalam bahasa Arab, atahaqafah artinya adalah pikiran atau akal seseorang itu menjadi tajam, cerdas, atau mempunyai keahlian yang tinggi dalam bidang-bidang tertentu. Selanjutnya istilah taqafah berarti membetulkan sesuatu, menjadi lebih baik dari pada keadaan yang dulunya tidak begitu baik, ataupun menjadi berdisiplin. Kata taqafah artinya adalah ketajaman, kecerdasan, kecerdan akal, dan keahlian yang tinggi, yang diperoleh melalui proses pendidikan. Jadi istilah ini, menekankan kepada manusia untuk selalu menggunakan fikirannya, sebelum bertindak dan menghasilkan kebudayaan.
Terminologi al-hadarah digunakan untuk menyebut kehidupan manusia secara kolektif dan peradaban yang tinggi (sivilisasi). Istilah al-hadarah berasal dari kata dasar, hadhara, yahduru, dan hadaratan, yang artinya adalah bermukim dalam kawasan negeri atau tempat yang ramai yang membedakannya dari negeri atau tempat yang sunyi, badiyah. Istilah hadar dan hadarah dalam bahasa Arab klasik bermaksud kawasan yang didiami oleh manusia berupa perkotaan atau kehidupan yang relatif maju. Istilah ini memiliki makna bahwa indikator kebudayaan yang dianggap maju dan tinggi adalah dengan munculnya kota-kota dengan sistem sosial yang kompleks. Namun bagaimanapun pedesaan tetap diperlukan dalam sebuah peradaban, sebagai mitra dari kota-kota. Eksprsi al-hadarah dalam kesenian Islam, diwujudkan dalam genre hadrah. Hadrah ini sejak abad kelima belas menjadi bagian dari kesenian sufi, khususnya tariqat Rifaiyah.
Tamaddun atau bentuk jamaknya tamaddunan berasal dari bahasa Arab, yang maknanya sering disejajarkan dengan istilah civilization dalam bahasa Inggris. Sivilisasi sendiri awalnya berasal dari bahasa Perancis. Hingga tahun 1732, kata ini merujuk kepada proses hukum. Pada akhir abad ke-18, istilah ini memiliki pengertian yang meluas tidak hanya sebatas sebagai hukum, tetapi juga tahapan paling maju dari sebuah masyarakat. Hawkes (1980:4) mengertikan sivilisasi sebagai kualitas tinggi yang dimiliki masyarakat. Menurut orang Yunani, masyarakat yang tidak memiliki kota adalah masyarakat yang tidak beradab, tidak memiliki sivilisasi. Collingwood mendefinisikan sivilisasi sebagai sebuah proses untuk mencapai suatu tahap kehidupan masyarakat sipil atau menjadi lebih sopan. Hasilnya melahirkan masyarakat perkotaan, masyarakat yang memiliki kehalusan budi. Johnson menyatakan bahwa sivilisasi adalah sebagai suatu keadaan yang bertentangn dengan kehidupan barbar, yang mencapai tahap kesopanan yang tinggi (Collingwood 1947:281).
Childe seorang sejarawan materialisme memberi penekanan kepada pencapaian material sebagai lambang peradaban (sivilisasi) suatu masyarakat. Menurutnya sivilisasi mempunyai maksud yang sama dengan revolusi perkotaan. Ia berpendapat bahwa pengukuran sivilisasi berdasar kepada adanya kota atau sivilisasi urban, berdasarkan kepada kajiannya pada budaya masyarakat Sumeria di Sungai Eufrat dan Tigris tahun 4000 S.M., yang memperlihatkan kota-kota seperti Uruk, Lagash, Eridu, Ur, dan lainnya (Collingwood 1947:5).
Farmer mendefinisikan sivilisasi sebagai unit budaya yang besar dan mengandung norma-norma sosial, tradisi, dan institusi yang dimiliki bersama dan diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya (Farmer 1977:xxxix). Schwetzer, seorang filosof Jerman yang memenangi hadiah Nobel Perdamaian 1954, mendefinisikan sivilisasi sebagai keseluruhan kemajuan yang dibuat oleh manusia dalam setiap aktivitas dan gagasan, yang membawa kepada penyempurnaan kerohanian individu dan komunitas. Pendapat lain tentang sivilisasi adalah sebagai satu budaya yang telah mencapai tahap kompleksitas yang lazim dicirikan oleh adanya perkotaan yang menyediakan ahli-ahli khusus di bidang ekonomi, sosial, politik, dan agama untuk memenuhi keinginan masyarakat (Jones 1960:10).
Konsep kebudayaan dalam Islam juga melibatkan istilah at-tamaddun, dan kebudayaan Islam disebut at-tamaddun al-Islami. Istilah ini merujuk kepada karangan terkenal Tarikh at-Tamaddun al-Islami yang ditulis oleh Jurzi Zaidan. Istilah ini berasal dari kata dasar maddana, yamduru, dan mudunan, yang artinya adalah datang ke sebuah bandar, dengan harf bi yang bermakna menduduki suatu tempat, maddana pula ertinya membangun bandar-bandar atau kota-kota, atau menjadi kaum atau seseorang yang mempunyai peradaban.
Dari istilah maddana ini muncul istilah lanjutan madinah yang artinya adalah kota dan madani yang berasal dari kata al-madaniyah yang berarti peradaban dan kemakmuran hidup. Istilah ini awalnya dipergunakan oleh Ibnu Khaldun, seorang sosiolog Islam terkenal (Hussein 1997:91). Dalam perkembangan sosial di Asia Tenggara, istilah madani begitu giat dipopulerkan oleh Anwar Ibrahim, mantan wakil Perdana Menteri Malaysia. Pengetian istilah ini merangkum tingkah laku yang beradab seperti orang perkotaan, bersifat halus dalam budi bahasa, serta makmur dalam pencapaian material.
Di antara istilh-istilah yang berkaitan dengan konsep kebudayaan dalam Islam, yang selalu digunakan oleh para cendekiawan, termasuk di Asia Tenggara, adalah istilah adab atau kata bentukannya peradaban. Ismail Faruqi menyatakan bahwa adab itu bererti culture atau kebudayaan. Dalam konteks ini kita kaji Hadits Nabi Muhammad SAW yang bermaksud: “Tuhan telah memberikan kepadaku pendidikan adab, addabani, dan Tuhan telah memperbaiki atau menyempurnakan pendidikan adab terhadapku.” Adab yang dimaksud adalah adab dalam pengertian yang paling luas, yang merangkumi kemampuan meletakkan sesuatu itu pada tempat yang sewajarnya, yaitu sifat yang timbul dari kedalaman ilmu dan disiplin seseorang. Sifat ini jika disebarkan ke dalam masyarakat dan kehidupan budaya, maka akan menimbulkan kesan yang alamiah dan menyeluruh di dalam kehidupan kolektif. Kesadaran tentang makna adab yang menyeluruh itu tercermin dalam kitab-kitab Islam, seeprti Adab ad-Dunya wad-Din karya Abul Hasan Al-Mawardi dan analisis tentang kehidupaan yang beradab dalam kitab karangan Imam Al-Ghazali Ihya ‘Ulumuddin.
Dalam bahasa Indonesia pula kata adab atau peradaban sering digunakan dalam berbagai literatur. Istilah peradaban biasanya merujuk kepada pengertian yang sama dengan sivilisasi dari bahasa Inggris. Kata ini memiliki pengertian sebagai unsur budaya yang dianggap mengandung nilai-nilai yang tinggi dan maju. Peradaban biasanya diakaitkan dengan hal-hal yang mencapai tahap kesempurnaan di masa dan ruang tertentu. Meskipun demikian, kalau digunakan istilah ini dengan berdasar kepada penilaian maju, maka itu adalah relatif. Dalam sejarah umat manusia, istilah ini digunakan untuk berbagai peradaban yang maju, seperti Indus, Sumeria, Assiria, Mesir, Inca, Oksidental, Oriental, dan lainnya. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang berbagai peradaban tersebut namun sebagian besar telah pupus ditelan sang zaman. Hanya sebahagian saja yang hidup, bekembang, dan kontinu hingga hari ini.
Pengubahan Nama Fakultas Sastra ke Fakultas Ilmu Budaya
Kata ”sastra” kini telah mengalami penyempitan sehingga disalahartikan sebagai indentik dengan ”kesusastraan.” Oleh sebab itu ada semacam persepsi keliru dari sebagian besar masyarakat bahwa lulusan Fakultas Sastra adalah orang yang hanya ahli atau tahu tentang bersajak-sajak, prosa, puisi atau bentuk-bentuk kesusastraan yang lain. Padahal, seorang lulusan Fakultas Sastra adalah seorang sarjana yang menguasai bahasa dan kebudayaan dari suatu wilayah atau bangsa. Kesusasteraan memang diajarkan di Fakultas Sastra, tetapi ia hanya sebagian kecil dari kurikulum FS. Atas dasar yang disebut di atas, maka kata sastra untuk Fakultas Sastra dengan demikian kurang memberikan representasi bidang-bidang lain yang diberikan di Fakultas Sastra yaitu sejarah, pariwisata, perpustakaan, dan linguistik. Oleh karena itu pada tahun 2010 Fakultas Sastra mengadakan perubahan nama, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara menjadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara. Dengan perubahan nama tersebut dapat menghilangkan persepsi keliru masyarakat tentang apa yang diajarkan di Fakultas Sastra USU.
Selanjutnya penggunaan kata sastra pada Fakultas Sastra USU juga dapat merugikan kepada banyak bidang-bidang ilmu terkait termasuk merugikan bagi pengembangan dimensi multidisiplin ilmu. Ilmu secara umum pada istilah Fakultas Sastra sebagai wadah pengembangan ilmu dan sebagai disiplin ilmu tidak akan mampu mengarah kepada dinamika yang diperlukan dalam dinamika perkembangan bidang-bidang ilmu lainnya dan mengarah kepada dinamika yang diperlukan maka istilah yang dapat mewadahinya adalah yang berdimensi multi. Maka perubahan Fakultas Sastra dapat menjadi Fakultas Ilmu Budaya USU, karena berdimensi multi dan dapat mewadahi departemen-departemen dan prodi-prodi serta konsentrasi-konsentrasi keilmuan dengan perkembangan bidang-bidang ilmu multi dimensi lainnya.
Demikian juga pergantian nama dari Fakultas Sastra ke Fakultas Ilmu Budaya USU didasari dari pemikiran bahwa laju kembang keilmuan telaah sastra mutakhir semakin membutuhkan elaborasi serta signifikansi terkait konteks kultural. Dengan kalimat lain, kajian sastra murni dirasa saja tidak cukup sehingga diperlukan adanya suatu bangun akademis baru yang mampu menajamkan dan memperkaya makna serta urgensi kajian sastra di tingkat pendidikan tinggi, dengan mengajukan beberapa gagasan menyangkut pengembangan pemahaman budaya yang mengarah pada pemberian pengetahuan dan kegiatan yang mempertinggi kesadaran terhadap pola-pola kebudayaan, sehingga mahasiswa dapat melihat perbedaan dan persamaan kebudayaan dengan lebih luas dan komprehensif.
Dengan demikian, pengembangan wawasan pluralisme sehingga mampu bersaing di berbagai tingkat, baik nasional maupun internasional. Dengan menghimpun ilmu-ilmu yang berhubungan dengan bahasa, kesusasteraan, sejarah, pariwisata, dan perpustakaan dan lainnya yang berorientasi pada keanekaragaman budaya dalam menjalin kerja sama lintas program studi di tingkat fakultas, bahkan universitas dalam rangka pembentukan kepribadian.
Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran FIB
Visi, misi, dan sasaran FIB USU telah dimusyawarahkan melalui Rapat Kerja Fakultas di Tanah Karo pada pertengahan tahun 2011 ini. Visi, misi, dan sasaran ini akan menjadi dasar awal dalam operasional akademis FIB mulai 2011 ke masa-masa yang akan datang. Visi, misi, dan sasaran FIB ini.
Visi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera adalah menjadi lembaga pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam bidang kebudayaan, yang unggul dan bertaraf nasional dan internasional, peduli pada kepentingan kemanusiaan, dunia usaha, dan berwawasan lepada nilai-nilai budaya bangsa.
Misi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah sebagai berikut.
a. Menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian di bidang ilmu budaya yang bermutu tinggi dan mampu bersaing baik secara nasional maupun internasional.
b. Mengembangkan penelitian dalam bidang ilmu budaya yang mendorong kemajuan pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang bermanfaat untuk kepentingan umat manusia.
c. Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat berperspektif budaya untuk menyelesaikan masalah-masalah masyarakat dan kemanusiaan.
d. Menjalin kerjasama dengan dunia usaha dan instansi lainnya baik di dalam maupun di luar negeri dalam bidang kebudayaan untuk pengembangan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
e. Menghasilkan lulusan yang berwawasan dan berkompetensi budaya beserta keberagamannya, beretika, inovatif, berjiwa kepemimpinan, dan peduli terhadap masalah kemasyarakatan dan kemanusiaan.
Sebagai penjabaran misi di atas, maka tujuan dan sasaran USU dirumuskan sebagai berikut:
1. Melakukan partisipasi aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan kemanusiaan.
2. Memperluas partisipasi aktif dalam pembelajaran sesuai dengan kebutuhan nasional, dan memodernisasikan cara penyampaian pembelajaran.
3. Meningkatkan kemampuan pendanaan melalui usaha universitas untuk mengembangkan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
4. Membangun suatu pusat informasi dan teknologi komunikasi.
5. Memperkuat departemen untuk mengelola satu disiplin ilmu dan antardisiplin ilmu.
6. Menciptakan tata pamong universitas yang baik dan demokratis .
7. Menciptakan pendekatan baru yang berfokus pada ”pembelajaran sesuai kebutuhan.”
8. Menciptakan suatu lingkungan pengajaran dan pembelajaran yang kondusif untuk menciptakan kerja kreatif.
9. Menjadi perantara kecenderungan ilmu pengtahuan, teknologi, kesenian, kebudayaan dan kemanusiaan baik secara nasional maupun internasional.
Polarisasi Zaman
Sebagai sebuah fakultas yang bertujuan mengembangkan ilmu budaya, maka sudah selayaknya FIB USU selalu mengikuti polarisasi zaman. Kini perkembangan keilmuan juga telah mengalami perkembangan dan kontinuitas dari era-era sebelumnya. Termasuk juga ilmu-ilmu budaya, yang disinonimkan pula dengan ilmu humaniora, dan ilmu-ilmu kemanusiaan.
Perkembangan dan polarisasi keilmuan di masa kini telah melahirkan sebuah tema besar yaitu kajian budaya atau sering juga disebut dengan cultural studies. Menurut Lash (2007): “cultural studies is an academic field grounded in critical theory and literary criticism. It generally concerns the political nature of contemporary culture, as well as its historical foundations, conflicts, and defining traits. It is, to this extent, largely distinguished from cultural anthropology and ethnic studies in both objective and methodology. Researchers concentrate on how a particular medium or message relates to matters of ideology, social class, nationality, ethnicity, sexuality, and/ or gender.”
Perkembangan kajian budaya seperti diungkapkan Lash tersebut kiranya sangat penting untuk disikapi dalam rangka mengembangkan ilmu-ilmu budaya. Kajian budaya ini penting diterapkan terutama pendekatan teori kritis dan kritisisme sastra. Kemudian dikembangkan juga keberadaan politis (kebudayaan) dan kebudayaan kontemporer, begitu juga dengan dasar-dasar kesejarahan budaya, konflik, sikap sosiobudaya, dan lainnya. Kajian budaya ini tampaknya mencakup hal-hal yang lebih luas dibandingan antropologi budaya.
Di dunia ini, ada pula pakar budaya juga mengembangkan teori benturan peradaban (clash civilization), khususnya Samuel P. Huttington (1996). Menurutnya kebudayaan masyarakat dan agama adalah menjadi sumber utama konflik setelah selesainya perang dingin, yaitu antara Blok Barat yang liberal dan Blok Timur yang sosialis dan komunis. Teori benturan kebudayaan ini disampaikan dalam kuliah di dasawarsa 1990-an dan hasil pemikirannya tersebut dibukukan dalam tajuk The Clash Civilization and the Remaking of World Order. Walau ada benarnya pendapat beliau tentang benturan peradaban yang didasari duka hal yaitu agama dan kelompok masyarakat, namun dalam tahapan praktik dan terutama ide, agama-agama menganjurkan perdamaian, bukan benturan atau peperangan. Namun yang terjadi adalah dengan berdasarkan perbedaan tersebut, maka manusia bisa saling berperang. Atau perbedaan menjadi alasan untuk berbenturan.
Dalam konteks politik dunia benturan peradaban ini menjadi satu agenda negara-negara maju untuk masuk “menjajah” negara-negara terkebelakang, yang memang di dalamnya dibumbui dengan perbedaan religi dan sistem. Penerapan demokrasi ala Barat juga menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya konflik di dunia ini. Padahal kita tahu bahwa demokrasi ala Barat bukanlah satu-satunya sistem politik yang paling tepat digunakan oleh semua bangsa di dunia ini.
Polarisasi zaman juga menghendaki ilmu-ilmu budaya harus terus mengembangkan teori-teori dalam konteks mengkaji dan juga mengembangkan peradaban manusia terutama di lingkungan universitas yang menaungi ilmu budaya ini. Pendekatan kualitatif, kuantitatif, serta penelitian dan pengembangan (R & D) menjadi menarik terus untuk digumuli dan dikembangkan. Begitu juga penggunaan teknologi terkini menjadi sebuah keharusan dalam mengembangkan ilmu-ilmu budaya. Penggunaan alat-alat penelitian lapangan, siber, audiovisual, teknologi informasi, multimedia perlu digunakan dalam konteks mengembangkan ilmu-ilmu budaya.
Selain itu, para ilmuwan budaya, apakah sarjana, magister, maupun doktor dan guru besar hendaklah mampu mengembangkan teori-teori di bidang ilmu-ilmu budaya terutama di dalam bidang-bidang yang digelutinya secara intensif. Seperti diketahui di dalam ilmu-ilmu budaya ada teori-teori alur utama seperti semiotik, hermenetik, posmodernisme, poskolonial, posstruktural, fungsionalisme dan strukturalisme, yang umumnya diciptakan dan dikembangkan oleh ilmuwan Barat, tetapi tidaklah haram bagi ilmuwan ilmu budaya di FIB USU untuk menemukan teori-teori baru, yang tentu saja harus dipublikasikan. Kita boleh mencontoh sikap ilmuwan ilmu budaya di negeri jiran Malaysia yang tidak segan-segan menciptakan teori yang berbasis kepada budayanya. Mereke membuat teori-teori baru dalam mengkaji budaya Malaysia, seperti teori: takmilah, atqaqum, teksdealisme, semiotika Melayu, neonostalgia, teori adat Melayu, dan lain-lainnya, yang umumnya diprakarsai oleh doktor dan guru besar ilmu-ilmu budaya yang mengajar di universitas-universitas.
Kesimpulan
Dari uraian di atas tergambar dengan jelas, bahwa FIB USU bukanlah sekedar ikut-ikutan mengubah namanya dari FS USU sebagaimana universitas-universitas lain di Indonesia. Pengubahan nama ini telah dimusyawarahkan, diwacanakan, dipikirkan, dikaji, dan dipolarisasikan arahnya ke masa depan. FIB USU juga sangat menghargai kontinuitas atau kesinambungan akademis yang telah dibangun sejak berdirinya. Pengubahan nama tidak serta merta mengubah semua hal, tetapi mempertimbangkan secara bijaksana apa-apa saja yang harus berubah dan apa-apa saja yang harus kontinu. Selain itu, pengubahan ini mestilah juga melihat perkembangan dan polarisasi keilmuan serta zaman yang pasti terus-menerus berubah. Oleh karenanya kreativitas saintifik dan manajerial perlu terus dikembangkan dalam menyongsong perkembangan dinamika kebudayaan masyarakat.
Daftar Pustaka
Abdullah Al-Ahsan, 1988. The Organization of the Islamic Conference (OIC). Herndorn: Interational Institute of Islamic Thought..
Adler, Mortimer J. et al. (eds.). 1983. Encyclopaedia Britannica (Vol. XII). Chicago: Helen Hemingway Benton.
Ahmad Samin Siregar, 2000. “Pemakaian Bahasa Melayu sebagai Gambaran Budaya dan Cara Berfikir Masyarakat Melayu Sumatera Timur.” Dalam Kumpulan Kertas Kerja Kolokium Bahasa Pemikiran Melayu dan Indonesia. Suntingan Darwis Harahap dan Abdul Jalil Haji Anuar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pusaka.
Anderson, John, 1971. Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Singapura: Oxford University Press..
Batara Sangti. 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar.
Brahma Putro. 1981. Karo dari Jaman ke Jaman. Medan: Yayasan Masa.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.
Du Gay, Paul, et al. Doing Cultural Studies: The Story of the Sony Walkman. Culture, Media and Identities. London ; Thousand Oaks Calif.: Sage in association with The Open University, 1997.
Garraghan, Gilbert J., S.J. 1957. A Guide to Historical Method. East Fordham Road, New York: Fordham University Press.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York
Gillin, J.L. dan J.P. Gillin. 1954. For A Science of Social Man. New Yor: McMillan.
Goldsworthy, David J. 1979. Melayu Music of North Sumatra: Continuities and Changes. Sydney: Monash University. Disertasi Doktoral.
Hajjah Noresah bt Baharon dkk. (eds.), 2002. Kamus Dewan Edisi Ketiga. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dam Pustaka.
Hall, D.G.E., 1968, A History of South-East Asia, St. Martin's Press, New York. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, 1988, diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo, Surabaya: Usaha Nasional.
Huntington, Samuel P., The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, New York, Simon & Schuster, 1996
Ismail Hussein, 1978. The Study of Traditional Malay Literature with Selected Bibliography. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
LaPiere, Richard T., 1965. Social Change. New York: McGraw Hill Book Company.
Malinowski, “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antroplologi I. 1987. Koentjaraningrat (ed.), Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Muhammad Takari dan Fadlin, 2008. Sastra Melayu Sumatera Utara. Medan: Bartong Jaya.
Muhammad Takari dan Heristina Dewi, 2008, Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Koentjaraningrat (ed.), 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Rineka Cistra.
Koentjaraningrat, 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Kroeber, A. L. and C. Kluckhohn, 1952. Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. Cambridge, MA: Peabody Museum
LaPiere, Richard T., 1965. Social Change. New York: McGraw Hill Book Company.
Lash, Scott. 2007. "Power after Hegemony: Cultural Studies in Mutation?" Theory, Culture, and Society. 24(3): 55-78
Tim Penyusun Proposal Pengubahan Nama Fakultas Sastra ke Fakultas Ilmu Budaya USU, 2010. “Proposal Pengubahan Nama Fakultas Sastra ke Fakultas Ilmu Budaya USU. Medan.
Tim Penyusun KUBI, 1966. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
UNESCO. 2002. Universal Declaration on Cultural Diversity, issued on International Mother Language Day, February 21, 2002. Retrieved: 2006-06-23.
Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (peny.) 1992. Serba-serbi Semiotik. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Parsudi Suparlan, 2003, “Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: Yayasan Ilmu Kepolisian
Peirce, Charles S. (1938-1956). The Collected Papers, 8 vols., Charles Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur W. Burks (eds.). Cambridge: Harvard University Press. Teeuw, A.1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Poerwadarminta, 1965. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.Thee Kian Wee, 1977. Plantation Agriculture and Export Growth and Economic History of East Sumatra. Jakarta: Leknas LIPI.
Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press.
Turner, Victor dan Edward M. Bruner (eds.). 1983. The Anthropology of Performance. Urbana dan Chicago: University Illinois.
Tylor, E.B. 1974. Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Art, and Custom.New York: Gordon Press.
Usman Pelly, 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.W.J.S. Poerwadarminta (ed.), 1965. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Yuyun S. Suriasumantri, 1984. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor dan Leknas LIPI.
KESINAMBUNGAN, PERUBAHAN, DAN POLARISASI ZAMAN
Oleh: Muhammad Takari
Fakultas Ilmu Budaya USU
Pengantar
Sejak Maret 2010, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (FS USU) di Medan telah berganti nama dari Fakultas Sastra ke Fakultas Ilmu Budaya (FIB) USU. Perubahan nama ini, mengalami proses yang panjang, yang dimulai dari masa jabatan Dekan Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D., yang kemudian dilanjutkan ke masa Prof. Wan Syaifuddin, M.A., Ph.D., dan baru disetujui oleh pimpinan USU pada masa Dekan Dr. Syahron Lubis, M,A.
Wacana dan pergolakan tentang perubahan nama fakultas ini menjadi begitu panjang dan lama, tidak lain adalah akibat dari terjadinya tarikan-tarikan antara fihak yang tetap menginginkan nama Fakultas Sastra USU dan pihak yang ingin perubahan menjadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) USU, atau kalangan yang beridri di titik tengahnya. Juga ada kalangan yang tidak perduli apakah mau berubah namanya atau tidak. Namun akhirnya, terjadilah perubahan nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya USU.
Berdasarkan kenyataan tersebut, para pimpinan FIB dan USU sendiri telah memperhatikan dan mempertimbangkan manfaat akademis, saintifik, dan manajemen yang ingin dicapai dari perubahan nama ini. Perubahan nama bukan hanya sampai di situ saja. Ini akan mengakibatkan juga kepada perubahan visi, misi, dan tujuan fakultas. Selain itu, perubahan yang terjadi hendaklah disertai pula dengan perubahan paradigma, sikap, dan hasil saintifik, yang akhirnya dapat melesatkan FIB USU menjadi satu fakultas yang cemerlang, disegani, dan terdepan dalam bidang ilmu budaya di peringkat nasional maupun internasional.
Perubahan yang dituju bukanlah yang bersifat revolusioner, artinya melenyapkan yang lama, dan menggantikannya dengan yang sama sekali baru. Perubahan yang dilakukan ini sebenarnya berdasar kepada polarisasi zaman, dan tetap melakukan kontinuitas apa yang telah dilakukan institusi ini sejak 1965 sampai awal tahun 2011 ini. Banyak hal-hal baik yang perlu diteruskan dari era nama FS USU ke era FIB USU. Bagaimanapun, FS USU selama ini memiliki jati diri yang kuat dalam bidang-bidang ilmu bahasa, sastra, sejarah, seni, perpustakaan, dan pariwisata. Di antara jati dirinya adalah menampilkan budaya khas Sumatera Utara dalam kurikulumnya, misalnya di Departemen Sastra Cina dimuat matakuliah Bahasa Hokkian, di Departemen Sastra Daerah ada mata kuliah yang berteras budaya Batak dan Melayu, seperti contoh Tradisi Berpantun Batak dan Tradisi Berpantun Melayu. Begitu juga dengan Departemen Etnomusikologi yang mengembangkan kurikulumnya berdasarkan kenyataan seni budaya Sumatera Utara, Sumetera, Nusantara, dan Dunia, dalam konteks bersaing secara nasional dan internasional para lulusannya. Demikian pula dengan Program Studi lainnya seperti Inggris, Jepang, Periwisata, Indonesia, yang memiliki kekhasan dan keunikannya masing-masing dalam rangka menghasilkan lulusan yang berjiwa Pancasila dan berkompetensi di bidangya masing-masing. Para alumni FS USU juga mampu menjadi lokomotif terdepan di bidang ilmu budaya, dalam konteks persaingan sehat pasar kerja, baik secara nasional maupun internasional. Hal ini perlu diteruskan dalam konteks perubahan nama dan paradigma dari FS USU ke FIB USU.
Dalam lingkup nasional antara Fakultas-fakultas Sastra dan Ilmu Budaya telah melakukan kerjasama yang disebut dengan Forum Sastra dan Budaya (FSB) yang diselenggarakan dua tahun sekali. Mengambil tempat secara bergantian. Peranan FS USU juga cukup menonjol dalam forum tersebut. Salah satu sumbangan yang diberikan FS USU adalah sebagai tuan rumah FSB IV di Medan tahun 2007 lalu. Dalam forum ini disepakati secara umum bagaimana arah pendidikan Fakultas Sastra/Ilmu Budaya di seluruh Indonesia. Selain itu tim FS USU mendisain logo FSB dan disetuji oleh para peserta forum. Ini membuktikn bahwa FS USU tidak diam, bahkan menjadi penggerak utama pengembangan institusi sastra dan budaya di peringkat Perguruan Tinggi di Indonesia. FS USU juga tidak hanya bekerjasama di peringkat nasional, tetapi juga di tingkat internasional. FS USU sejak dasawarsa 1980-an sampai sekarang telah menjalin memorandum saling pengertian (Memorandum of Understanding/ MoU) dengan universitas-universitas di luar negeri seperti Jinan University, Republik Rakyat China; Universiti Malaya (UM) Malaysia, Universiti Sains Malaysia (USM), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Prince Songkhla University, Monash University, Philipine National University, dan lain-lainnya. Semua ini adalah upaya untuk meningkatkan kualitas dan manajemen FS USU.
Dalam konteks pendidikan ilmu-ilmu budaya di Indonesia, sejak merdeka sampai di era 1990-an, di peringkat perguruan tinggi diasuh di bawah Fakultas Sastra, seperti yang terdapat di Universitas Sumatera Utara, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, dan lain-lainnya. Ada juga yang menggunakan istilah Fakultas Sastra dan Kemanusiaan. Di Universiti Kebangsaan Malaysia (USM) digunakan istilah Fakulti Ilmu Kemanusiaan.
Sejak dekade 1990-an hingga sekarang dunia pendidikan di seluruh dunia mulai menggunakan istilah kajian kebudayaan (cultural studies) untuk ilmu-ilmu dimaksud. Kecenderungan ini membuat beberapa universitas di Indonesia mengubah nama fakultas sastra menjadi fakultas ilmu budaya atau fakultas ilmu pengetahuam budaya. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu-ilmu budaya baik di peringkat internasional maupun nasional. Selain itu dalam konteks kekinian, makna sastra juga mengalami penyempitan, maka para pakar lebih cenderung memilih istilah ilmu budaya untuk bidang-bidang disiplin dimaksud. Inilah yang menjadi alasan mengapa Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (FS USU) akan mengubah istilah Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB USU). Perubahan ini juga akan mempengaruhi isi (muatan kurikulum) yang akan dirancang dan dilaksanakan. Namun sebelumnya kita lihat dahulu latar belakang kesejarahan berdirinya Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Sejarah Singkat Berdirinya Fakultas Sastra
Berdirinya Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, diawali dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan Nomor: 190/1965, terhitung mulai 25 Agustus 1965. Pendirian Fakultas Sastra adalah gagasan dan arahan akademik dari dua belas orang staf pengajar Universitas Sumatera Utara, yakni: (1) Prof. Mahadi, S.H.; (2) Dr. Septy Ruzui; (3) Drs. Sabaruddin Ahmad; (4) T. Mahmuddin; (5) Dr. Rustam Amir Effendi, M.A.; (6) Drs. Burhanuddin Ch. Usman; (7) Prof. A. Hamid Hasan Lubis; (8) Drs. Chairuddin Rahman; (9) Drs. Danil Ahmad, DPFE; (10) Drs. Syahdan Manurung, DPFE; (11) Drs. Abubakar; dan (12) Drs. Tasrir Ismail.
Pada awalnya, di tahun 1965, Fakultas Sastra hanya mempunyai satu jurusan yakni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan jumlah mahasiswa 45 orang. Kemudian pada awal tahun 1966, Fakultas Sastra memperoleh gedung sendiri yang terletak di bahagian depan Sekolah Taman Kanak-kanak Dharma Wanita USU. Karena gedung ini sangat kecil, setahun kemudian Fakultas Sastra mendapat tambahan gedung bekas Pekerjaan Umum di Jln. Prof. Muhammad Yusuf. Ini pun dirasa masih juga sangat minim dan tidak memenuhi syarat untuk perkuliahan, karena ruangannya hanya empat buah, dua ruang untuk perkuliahan dan dua ruang untuk administrasi.
Pada tahun 1966 dibukalah Jurusan Sastra Inggris. Tahun 1967 Fakultas Sastra dipindahkan ke Gedung Pancasila (sekarang Gedung Pendopo USU), luasnya sudah memenuhi syarat untuk kegiatan akademik, tetapi ada kendala yaitu mengenai air dan lampu yang tidak memadai. Pada tahun 1968 dibuka Jurusan Sejarah, tetapi belum ada kegiatan karena mahasiswanya belum ada dan pada tahun 1970 adalah tahun pertama menerima mahasiswa. Tahun 1972 Fakultas Sastra memperoleh tiga unit gedung permanen. Tahun 1979 dibuka Jurusan Sastra Daerah untuk Sastra Melayu dan Sastra Daerah untuk Sastra Batak. Pada tahun ini juga dibuka Jurusan Etnomusikologi sebagai satu-satunya yang ada di Indonesia sampai tahun 1989. Sampai saat ini, Departemen Etnomusikologi juga masih menjadi satu-satunya Departemen (Program Studi) yang membidangi disiplin etnomusikologi di Indonesia, yang operasionalnya di bahwah universitas. Dalam konteks Indonesia, Program Studi Etnomusikologi operasionalnya di bawah Institut Seni Indonesia (seperti di ISI Padangpanjang, IKJ Jakarta, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, ISI Denpasar, dan lainnya). Jurusan ini banyak sekali mendapat perhatian dan bantuan terutama dari Ford Foundation Jakarta antara lain beasiswa bagi mahasiswa dan staf pengajar serta bantuan tenaga konsultan.
Selanjutnya pada tahun 1980 dibuka Program Studi S1 Bahasa Arab, Jurusan Antropologi, dan Jurusan Ilmu Perpustakaan, namun pada tahun 1983 Jurusan Ilmu Perpustakaan ditutup dan sebagai gantinya dibuka Program Studi D3 Perpustakaan. Sedangkan Jurusan Antropologi dipindahkan ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU sesuai dengan SK Rektor USU No. 163/PTO5/SK/O/86 tanggal 4 Mei 1986.
Pada tahun 1986 Fakultas Sastra mendapat bantuan dari Pemerintah Daerah Kotamadya Medan berupa satu unit gedung untuk perkuliahan/praktik Jurusan Etnomusikologi, yang diberi nama Faviliun Amir Hamzah (FAH). Tahun 2003 mendapat tambahan satu unit gedung bekas USU Press yang pada tahun 2004/2005 digunakan untuk gedung perkuliahan dan administrasi PS S1 Sastra Jepang Reguler/Mandiri, D3 Bahasa Jepang, dan D3 Pariwisata. Tahun Akademik 2007/2008 dibuka Departeman baru yakni Program Studi Sastra China. Departemen ini melakukan kerjasama akademik dengan Jinan University, Guangzhou, Republik Rakyat China.
Selain itu, di peringkat S-2, Fakultas Sastra sejak tahun ajaran 2009-2010 atas izin Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, telah membuka Program Studi S-2 (Magister) Penciptaan dan Pengkajian Seni yang langsung dikelola oleh fakultas. Namun selain itu sejak dekade 1990-an sudah berdiri Program Magister (S2) dan Doktor (S-3) Linguistik, yang secara keilmuan berkait dengan Fakultas Sastra, namun pengelolaannya di bawah Sekolah Pascasarjana (PPs) USU.
Untuk melaksanakan kebijakan pembangunan nasional di bidang pendidikan secara sistematis, Fakultas Sastra perlu menyusun rencana strategis tahun 2005-2009, dan diteruskan ke 2010-2015. Hal ini merupakan bagian atau penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM, 2005-2009) yang telah ditetapkan melalui peraturan Presiden Nomor 7/2005. Rencana Strategis disusun untuk menjadi pedoman bagi pengelolaan pendidikan pemerintah pusat, daerah, masyarakat dan satuan pendidikan untuk merencanakan dan melaksanakan program-program pembangunan pendidikan serta mengendalikan hasil-hasilnya selama kurun waktu tersebut.
Bagi Fakultas Sastra, rencana strategis ini disusun untuk menjadi pedoman Fakultas Sastra dalam mendukung dan melaksanakan pembangunan pendidikan nasional melalui pelaksanaan Tri Dharma perguruan tinggi di Universitas Sumatera Utara. Dengan adanya Rencana Strategis ini maka diharapkan Fakultas Sastra dapat melaksanakan program dan kegiatan secara berkelanjutan yang lebih sinkron dengan kebijakan daerah serta pembangunan nasional dan menjadikan Fakultas Sastra sebagai fakultas yang berdaya saing tinggi.
Adapun landasan Hukum dan Bahan Rujukan Renstra Fakultas Sastra adalah sebagai berikut.
a. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
b. Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2003 tentang Penetapan Universitas Sumatera Utara sebagai Badan Hukum Milik Negara.
c. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 114/ MPN.A4/KP/ 2004 tentang pengangkatan Majelis Wali Amanat USU.
d. Keputusan Majelis Wali Amanat USU No.1/SK/MWA/ I /2005 tentang Anggaran Rumah Tangga USU.
e. Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005-2009.
f. Rencana Strategis Universitas Sumatera Utara 2005-2009.
Kesinambungan dan Dasar Filsafat Keilmuan
Dari gambaran di atas terlihat dengan jelas bahwa Fakultas Sastra cukup memiliki peran penting dalam memantapkan dasar ilmu kemanusiaan dan mengembangkannya bagi kepentingan akademik itu sendiri dan masyarakat secara luas. Dalam hal ini Fakultas Sastra perlu melakukan kesinambungan secara berkala semua program tri dharma perguruan tingginya. Dalam bidang pendidikan, sistem yang digunakan dari sistem tingkat menjadi sistem kredit semester (SKS) yang dipakai sampai hari ini, merupakan hasil pergulatan akademik, yang terus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Begitu juga dengan kurikulum yang dirancang dan dikembangkan secara berkala (lima tahunan), merupakan keinginan untuk melakukan kesinambungan dan perubahan.
Kesinambungan perlu juga memperhatikan perkembangan keilmuan, khususnya ilmu-ilmu humaniora yang berkembang baik di tingkat daerah, nasional, maupun internasional. Kesinambungan akan memberikan stabilitas keilmuan bagi fakultas ini. Kesinambungan perlu dijaga dan diberi perhatian dari masa ke masa, agar segala perubahan tetap di jalur utama, tidak merusakkan apa yang telah disepakati dan dirintis berdasarkan dibukanya fakultas ini. Yang penting terus dijaga adalah dasar filsafat didirikannya Fakultas Sastra yang kini telah berubah menjadi Fakultas Ilmu Budaya.
Sebagai disiplin ilmu-ilmu budaya tentu saja harus berdasar kepada tiga esensi dasar dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, yaitu epistemologis, aksiologis, dan ontologis. Dalam filsafat dikenal dua istilah yang saling berkaitan, tetapi memiliki makna yang berbeda yaitu istilah pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan (ilmu atau sains) yang berasal dari bahasa Inggris science. Pengetahuan adalah istilah yang digunakan dalam filsafat yang berarti belum sampai kepada tahap ilmu pengetahuan. Filsafat sendiri dapat diartikan sebagai cara berpikir yang radikal dan menyeluruh—suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya (Suriasumantri 1984:4).
Ilmu pegetahuan adalah sebuah disiplin yang mempunyai tahapan-tahapan dan prosedur-prosedur tertentu, yang sering disebut ilmiah. Di antaranya adalah rasionalisme, empirisme, determinisme, hipotesis dan pembuktian, asumsi, pengamatan (observasi), penelitian, pengolahan data, temuan, dan lain-lainnya (Denzim dan Lincoln 1995)
Dalam ontologis biasanya dipertanyakan apa yang ingin kita ketahui. Seterusnya dalam epistemologis dipertanyakan tentang bagaimana kita mengetahuinya. Sedangkan pada aksiologis ditanyakan nilai apa yang berkembang pada pengetahuan yang kita ketahui.
Ketiga dasar filosofis ini tentu saja dapat diaplikasikan dalam menjawab munculnya ilmu-ilmu budaya di tengah-tengah ilmu pengetahuan yang bersifat saintifik. Secara ontologis ilmu-ilmu budaya digunakan oleh para ilmuwannya untuk mengetahui kebudayaan. Secara filosofis mengetahui kebudayaan tujuan akhirnya adalah mengetahui bagaimana manusia yang menggunakan dan mendukung kebudayaan itu.
Secara epistemologis pula ilmu-ilmu budaya mestilah memiliki teori dan metode. Teori adalah panduan dasar dalam memecahkan dan memerikan fenomena kebudayaan. Teori menjadi alat untuk menganalisis. Namun untuk mengembangkan ilmu dibutuhkan penemuan dan pembaharuan teori di kalangan ilmuwan budaya atau ilmu terkait secara terus-menerus. Sementara metode digunakan untuk mendukung kerja penelitian dan analisis. Metode yang baik dapat mempermudah kerja etnomusikolog dan memperoleh hasil yang terverifikasi. Teknik kerja dalam ilmu-ilmu budaya tampaknya sangat diwarnai dan didukung oleh penemuan teknologi terkini. Oleh karenanya ilmuwan budaya haruslah menguasai teknologi terkait, bukan gagap teknologi (gaptek).
Kemudian secara aksiogis, yaitu nilai-nilai apa yang terkandung dalam disiplin ilmu-ilmu budaya, harus diletakkan sejak awal beridirinya disiplin ini. Nilai-nilai, sasaran dan tujuan ilmu-ilmu budaya tidak berbeda menariknya dengan disiplin-disiplin lain, seperti dalam ilmu-ilmu eksakta dan sosial. Budaya adalah fenomena manusia secara universal dan budaya ini dalam filsafat berjasa dalam studi terhadap kebenaran itu sendiri. Kepentingan manusia yang akhir kali adalah manusia itu sendiri, dan budaya itu adalah bagian dari apa yang ia lakukan dan bagian dari apa yang ia studi terhadap dirinya sendiri. Namun kepentingan yang sama adalah fakta bahwa budaya adalah sebagai tata tingkah laku manusia, dan ilmuwan budaya mempunyai andil baik itu dengan ilmu pengetahuan sosial atau humaniora, menjangkau suatu pengetahuan kenapa manusia bertata tingkah laku budaya seperti itu.
Mengapa Harus Berubah?
Adapun pengubahan nama Fakultas Sastra ke Fakultas Ilmu Budaya USU dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikit. (a) Bahwa secara global atau internasional terjadi kecenderungan secara keilmuan bahwa ilmu-ilmu yang terangkum dalam Fakultas Sastra, diberikan wadah dalam istilah ilmu budaya (cultural sciences) atau ilmu kemanusiaan (humanity sciences). Hal ini dapat dilihat dari seluruh universitas yang mengasuh ilmu ini di seluruh dunia.
Selain itu, (b) budaya adalah bersifat dinamik, dan memerlukaan telaahan atau kajian ilmiah sesuai dengan dinamikanya. Oleh karena itu, dirasakan sangat perlu mengubah nama dan isi Fakultas Sastra USU menjadi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (FIB USU), sesuai dengan dinamika kebudayaan baik di tingkat daerah, nasional, maupun internasional.
(c) Pengubahan nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya atau Ilmu Pengetahuan Budaya juga telah dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Udayana (Unud), Universitas Lancang Kuning (Unilak), dan lain-lainnya. Kini sedang dirintis pula pengubahan nama ini di beberapa Fakultas Sastra seperti di Universitas Andalas dan USU sendiri. USU juga termasuk ke dalam Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) yang memiliki otonomi lebih luas untuk mengembangkan universitas ini, seperti halnya UGM dan UI. Selama ini Fakultas Sastra USU juga telah melakukan dialog intens baik secara formal maupun nonformal dengan universitas-universitas tersebut di atas. Dari dialog ini terbersit secara eksplisit adanya keinginan dan kesamaan persepsi untuk mengubah nama fakultas sastra menjadi fakultas ilmu atau ilmu pengetahuan budaya. Bahkan di kalangan Fakultas Sastra dan Ilmu Budaya, setiap dua tahun sekali diadakan forum dialog yang diberi nama Forum Sastra/Budaya. Pada tahun 2006, Fakultas Sastra USU menjadi tuan rumah. Salah satu materi bahasan adalah mengubah nama fakultas sastra menjadi fakultas ilmu budaya, walaupun ada yang menolaknya, namun secara umum ada kecenderungan untuk mengubahnya.
Selain itu dari dialog-dialog antar universitas ini, tergambar bahwa perubahan nama harus pula mengubah isi dan polarisasi ilmu-ilmu budaya dan lebih bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu salah satu yang perlu diubah adalah kurikulum yang lebih luas menjangkau kecenderungan dinamika perubahan budaya. Seperti Universitas Lancang Kuning memasukkan mata kuliah Industri Kebudayaan; Sastra Siber; Budaya Populer; Manusia dan Dinamika Sosial, dan lainnya.
(d) Dari pengalaman universitas-universitas yang mengubah namanya, maka dapat dipastikan bahwa pengubahan nama ini akan berdampak positif, bagi memperoleh dana-dana penelitian yang bukan hanya di bidang sastra tetapi juga mencakup bidang budaya dan sosial, seperti penelitian budaya masyarakat suku terasing, penelitian budaya populer, dan lain-lainnya.
(e) Menurut penjelasan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning Riau, dengan pengubahan nama dan isi Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya Unilak, maka kerjasama dengan pihak Pemerintah Daerah lebih mudah dilakukan dan bidang kerjasama juga bisa lebih luas, tidak sekedar sastra atau linguistik saja. Hal ini menjadi alasan dan landasan akademik pula mengapa Fakultas Sastra USU akan mengubah nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya USU.
(f) Dari keberadaan Fakultas Sastra USU sendiri, yang memiliki aneka ragam ilmu, yang strata satunya saja memiliki tiga gelar kesarjanaan yaitu Sarjana Sastra untuk Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Bahasa Arab, Sastra Daerah, dan Sejarah. Kemudian Sarjana Seni untuk Departemen Etnomusikologi, dan Sarjana Sosial untuk Ilmu Perpustakaan. Secara akademik dan saintifik lebih terpayungi oleh Fakultas Ilmu Budaya dibanding Fakultas Sastra. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa dan kenapa Fakultas Sastra akan diubah menjadi Fakultas Ilmu Budaya USU. Untuk mendukung realitas sosial keilmuan, perlu pula dipaparkan apa pengertian sastra dan pengertian budaya, dari sumber-sumber pustaka seperti berikut.
Konsep Sastra dan Budaya: Titik Temu dan Perbedaannya
Istilah sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta (Sanskrit); akar kata biasanya menunjukkan adat, sarana. Maka itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Awalan su berarti baik, indah, sehingga susastra dapat dibandingkan dengan belles-lettres (Teeuw, 1988:23).
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1966:882) makna sastra ini melingkupi lima hal seperti diuraikan berikut ini: (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapan; (3) Kitab Suci Hindu, kitab ilmu pengetahuan; (4) pustaka, kitab primbon (berisi ramalan, hitungan dan sebagainya); dan (5) tulisan, huruf.
Sastra (Sanskerta shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti teks yang mengandung instruksi atau pedoman, berasal dari kata dasar śās- yang berarti instruksi atau ajaran. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada kesusastraan atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa. Yang termasuk dalam kategori sastra adalah: novel, cerita dan cerpen, syair, pantun, sandiwara atau drama, dan kaligrafi (wikipedia.org).
Makna kata sastra seperti tersebut di atas menekankan pengertiannya kepada budaya tulisan, seperti kitab, buku, karya tulis, kitab suci, tulisan, dan hitungan. Sementara yang dikaji di Fakultas Sastra USU dan di universitas-universitas lain adalah budaya dengan ilmunya ilmu budaya atau ilmu kemanusiaam. Selanjutnya kesusastraan dapat dimaknakan sebagai karya tulis yang jika dibandingkan dengan yang lain memiliki berbagai ketentuan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapan. Kesastraan, perihal sastra (maknanya lebih luas daripada kesusastraan). Sastrawan, (1) ahli sastra, (2) pujangga, pengarang prosa dan puisi, (3) (orang) pandai-pandai, dan cerdik cendekia.
Dengan demikian, pengertian sastra seperti terurai di atas, memang tidak mencakup keseluruhan unsur kebudayaan universal, seperti yang dikaji dalam ilmu-ilmu budaya. Pengertian sastra seperti itu pengertian dan ruang lingkupnya lebih kecil dari ruang lingkup ilmu-ilmu budaya. Ada pengertian yang bernuansa antara sastra dan budaya. Dari perspektif ilmu budaya, sastra adalah salah satu bidang kajiannya saja, tidak mencakup hal-hal kultural maupun sosiologis secara meluas. Untuk itu perlu pula diuraikan makna budaya atau ilmu budaya seperti beriku tini.
Definisi Budaya dan Peradaban
Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta yaitu buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti ”budi atau akal.” Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Namun ada pendapat yang mengatakan bahwa kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi daya yang berarti daya dari budi. Karena itu mereka membedakan istilah budaya dari kebudayaan. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culturejuga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merubah alam. Sedangkan pengertian kebudayaan menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Untuk memperkuat dan memperluas cakrawala tentang budaya ini beberapa pakar mengemukakan pendapat mereka tentang makna atau arti kebudayaan (budaya) seperti berikut. Menurut para pakar dan pemikir budaya dari dalam negeri, yaitu: (a) Parsudi Suparlan (2003), kebudayaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya Kemudian menurut(b)Koentjaraningrat (1990), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Dalam kajian budaya, sering pula dikenal istilah peradaban (sivilisasi), yaitu unsur-unsur kebudayaan yang maju, halus, dan tinggi (lihat Webster’s 1960 dan L.H. Morgan 1877). Kata ini, biasa merujuk kepada peradaban-peradaban seperti: Sumeria, Assiria, Indus, Babilonia, Inca, Oriental, Oksidental, Harappa, Mahenjo-Daro, dan lain-lain. Istilah peradaban itu sendiri merupakan unsur serapan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab yaitu dari akar kata adab. Umumnya pengertian budaya menurut para ilmuwan Barat seperti yang dikemukakan dalam antropologi dan sosiologi, adalah bahwa agama atau sistem religi sebagai bagian dari unsur kebudayaan yang sejajar dengan unsur budaya lain. Dalam Islam, agama memiliki dimensi Ilahiyah atau wahyu, dalam dimensi sedemikian rupa tidak termasuk dalam budaya, bahkan budaya wajib berasaskan kepada wahyu. Sebaliknya, kreativitas manusia dalam rangka mengisi budaya dapat dikategorikan sebagai budaya.
Istilah kebudayaan memang tak asing bagi kita khususnya yang berkecimpung di dunia ini, apakah itu sebagai agamawan, budayawan, seniman, penikmat budaya, pelaku budaya dan seni dan lainnya. Namun kita juga sering bertanya apakah setiap agama, masyarakat, ras, dan etnik, memiliki persepsi sendiri tentang kebudayaan. Apakah terdapat persepsi yang sifatnya umum atau khusus dalam memandang budaya? Begitu juga halnya dengan agama Islam. Bagaimaan konsep kebudayaan dalam pandangan Islam? Dalam Islam, jika dibicarakan istilah kebudayaan, biasanya selalu merujuk kepada kandungan makna pada kata-kata atau istilah yang sejenis. Adapun padanan kata budaya itu adalah: millah, ummah, tahaqafah, tamaddun, hadharah, dan adab. Istilah ini dipakai dalam seluruh kurun waktu sepanjang sejarah Islam.
Terminologi millah (), yang bentuk jamaknya milal (), terdapat dalam Al-Qur’an, yang digunakan untuk merujuk keadaan kebudayaan yang berhubungan dengan syariat Nabi Ibrahim Alaihissalam. Millah artinya adalah agama, syariat, hukum, dan cara beribadah. Millah seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, maknanya ditujukan umat Islam, atau golongan manusia yang suci, yang berpegang teguh kepada agama Allah, serta mengamalkan sistem syariat, serta meraka yang menjalankan tugas-tugas rohaniah dalam hidup dan peradabannya.
Dalam konteks sejarah, Nabi Ibrahim Alaihissalam adalah peletak dasar agama monoteisme yang hanya menyembah kepada Tuhan yang Ahad. Ia menyatakan dengan tegas bahwa adalah perbuatan salah bila manusia menyembah sesuatu selain Allah, misalnya patung. Maka ia pun dihukum dengan cara dibakar api oleh penguasa negeri saat itu, yaitu Raja Namruz. Namun dengan kuasa Allah akhirnya ia tidak terbakar. Nabi Ibrahim melakukan penyucian akidah umat melalui ajaran-ajaran Allah. Ia termasuk salah seorang Rasul yang Ulul Azmi (lima dari dua puluh lima Rasul yang memiliki “keistimewaan”).
Selain itu, ada sebuah istilah lagi yang lazim digunakan dalam Islam, dalam kaitannya dengan kebudayaan, yaitu ummah. Istilah ini mengandung makna sebagai orang-orang muslim dalam bentuk masyarakat kolektif. Istilah ini yang pluralnya adalah umam dipergunakan dalam Al-Qur’an untuk menyebut umat Islam, sebagai umat terbaik.
Pengertian di dalamnya ialah bahwa umat Islam itu ialah golongan manusia yang suci, mukaddas, bukan sekuler atau profan, tanpa tujuan-tujuan—memiliki sifat-sifat pelaksana ajaran dan syariat Tuhan. Umat umumnya memiliki sifat ma’mum, yaitu terpimpin. Pimpinan disebut imam. Dalam sejarah Islam, pemimpin tertinggi ialah Rasulullah S.A.W. Dalam menjalani kehidupannya, umat itu wajib melaksanakan syariat, yaitu asas agama untuk mengarahkan kehidupan yang ditentukan dalam tanzil, wahyu yang diturunkan, bukan berdasarkan semata-mata kepada pemikiran sendiri. Hidup mereka meniru Rasulullah S.A.W. Umat Islam wajib menjadi contoh kepada segenap umat manusia di dunia. Dengan demikian, umat Islam berarti kumpulan manusia yang mendasarkan hidupnya kepada syariat Ilahi, dengan pimpinan suci, dan membentuk kumpulan manusia yang berkedudukan suci, bukan mengutamakan aspek keduniawian, serta berada dalam dimensi transenden.
Perkataan ummah diambil dari bahasa Arab umm yang artinya ibu. Di dalam Al-Qur’an terdapat 64 kali perkataan ummah, 13 di antaranya menggunakan kata jamak umam. Jika dilihat dari penggunaan kata ummah di dalam Al-Qur’an, maka kata ini memiliki beberapa pengertian. Perkataan ummah juga diartikan sebagai sebuah masyarakat yang bertanggung jawab terhadap keutuhan kelompoknya, yaitu menjalankan hak dan memperjuangkan keadilan (Quran 7:159). Sebagai contoh Nabi Ibrahim dianggap sebagai seorang umat yang beriman kepada Allah dan menjalankan tanggung jawabnya sebagai rasul kepada kaumnya. Begitu juga dengan kaum Nabi Musa yang mengikuti perintah Allah, melakukan kebaikan dan menjauhi kemungkaran.
Sergeant (dalam Abdullah Al-Ahsan 1992:12) berpendapat bahwa kata ummah telah ada sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Namun penjelasan mengenai ummah di dalam Al-Qur’an, adalah membicarakan tentang manusia yang datangnya dari satu komunitas (ummatan wahdatan Q.S. 10:19), yang berasal dari Adam dan Hawa disertai dengan kisah-kisah tentang umat terdahulu yang tidak mempraktikkan bagaimana kondisi ummah yang sebenarnya. Setelah Nabi Muhammad diutus sebagai Nabi akhir zaman, Rasulullah mengenalkan konsep ummah ini berlandaskan ajaran Islam, hingga digunakan terus hingga sekarang.
Dalam ajaran Islam perpaduan ummah tidak bermakna bahwa masyarakat Islam melupakan kaum (etnik, suku, bangsa) mereka. Selain itu, mereka harus menerima kaum dan bangsa lain sebagai saudara mereka. Misalnya Nabi Muhammad tetap mengingat dirinya dari Bani Hasyim dan bersuku Quraisy. Selain itu Nabi Muhammad juga selalu mengingatkan kaumnya yang telah memeluk Islam untuk menghormati dan menyayangi keluarga mereka yang bukan Islam, serta menunjukkan akhlak mulia kepada mereka.
Dalam konteks sejarah Islam, meskipun konsep ummah yang dikenalkan oleh Rasulullah pengertiannya merujuk kepada umat Islam, namun beliau mengijinkan bangsa Yahudi dan lainnya tinggal di Madinah. Mereka dijamin keselamatannya dan diperbolehkan mengamalkan ajaran agamanya selagi mereka tunduk kepada undang-undang Perlembagaan Negara Islam. Kaum Yahudi Medinah ini disebut dengan sebutan terhormat ummah ma’al al-muslimin (umat bersama orang Islam). Konsep ummah yang ingin dituju oleh Islam adalah sebuah kelompok masyarakat yang beriman kepada Allah, Rasul-rasul dan kitab-Nya bersatu di bawah panji Islam menjadi komunitas terbaik tanpa menonjolkan jenis bangsa, bahasa, ras, warna kulit, dan negeri.
Kata lain yang maknanya merujuk kepada kebudayaan dalam Islam adalah atahaqafah (), yang biasanya digabung dengan al-Islamiyah, artinya adalah keseluruhan cara hidup, berpikir, nilai-nilai, sikap, institusi, serta ertifak yang membantu manusia dalam hidup, yang berkembang dengan berasaskan kepada syariat Islam dan sunnah Nabi Muhammad.
Dalam bahasa Arab, atahaqafah artinya adalah pikiran atau akal seseorang itu menjadi tajam, cerdas, atau mempunyai keahlian yang tinggi dalam bidang-bidang tertentu. Selanjutnya istilah taqafah berarti membetulkan sesuatu, menjadi lebih baik dari pada keadaan yang dulunya tidak begitu baik, ataupun menjadi berdisiplin. Kata taqafah artinya adalah ketajaman, kecerdasan, kecerdan akal, dan keahlian yang tinggi, yang diperoleh melalui proses pendidikan. Jadi istilah ini, menekankan kepada manusia untuk selalu menggunakan fikirannya, sebelum bertindak dan menghasilkan kebudayaan.
Terminologi al-hadarah digunakan untuk menyebut kehidupan manusia secara kolektif dan peradaban yang tinggi (sivilisasi). Istilah al-hadarah berasal dari kata dasar, hadhara, yahduru, dan hadaratan, yang artinya adalah bermukim dalam kawasan negeri atau tempat yang ramai yang membedakannya dari negeri atau tempat yang sunyi, badiyah. Istilah hadar dan hadarah dalam bahasa Arab klasik bermaksud kawasan yang didiami oleh manusia berupa perkotaan atau kehidupan yang relatif maju. Istilah ini memiliki makna bahwa indikator kebudayaan yang dianggap maju dan tinggi adalah dengan munculnya kota-kota dengan sistem sosial yang kompleks. Namun bagaimanapun pedesaan tetap diperlukan dalam sebuah peradaban, sebagai mitra dari kota-kota. Eksprsi al-hadarah dalam kesenian Islam, diwujudkan dalam genre hadrah. Hadrah ini sejak abad kelima belas menjadi bagian dari kesenian sufi, khususnya tariqat Rifaiyah.
Tamaddun atau bentuk jamaknya tamaddunan berasal dari bahasa Arab, yang maknanya sering disejajarkan dengan istilah civilization dalam bahasa Inggris. Sivilisasi sendiri awalnya berasal dari bahasa Perancis. Hingga tahun 1732, kata ini merujuk kepada proses hukum. Pada akhir abad ke-18, istilah ini memiliki pengertian yang meluas tidak hanya sebatas sebagai hukum, tetapi juga tahapan paling maju dari sebuah masyarakat. Hawkes (1980:4) mengertikan sivilisasi sebagai kualitas tinggi yang dimiliki masyarakat. Menurut orang Yunani, masyarakat yang tidak memiliki kota adalah masyarakat yang tidak beradab, tidak memiliki sivilisasi. Collingwood mendefinisikan sivilisasi sebagai sebuah proses untuk mencapai suatu tahap kehidupan masyarakat sipil atau menjadi lebih sopan. Hasilnya melahirkan masyarakat perkotaan, masyarakat yang memiliki kehalusan budi. Johnson menyatakan bahwa sivilisasi adalah sebagai suatu keadaan yang bertentangn dengan kehidupan barbar, yang mencapai tahap kesopanan yang tinggi (Collingwood 1947:281).
Childe seorang sejarawan materialisme memberi penekanan kepada pencapaian material sebagai lambang peradaban (sivilisasi) suatu masyarakat. Menurutnya sivilisasi mempunyai maksud yang sama dengan revolusi perkotaan. Ia berpendapat bahwa pengukuran sivilisasi berdasar kepada adanya kota atau sivilisasi urban, berdasarkan kepada kajiannya pada budaya masyarakat Sumeria di Sungai Eufrat dan Tigris tahun 4000 S.M., yang memperlihatkan kota-kota seperti Uruk, Lagash, Eridu, Ur, dan lainnya (Collingwood 1947:5).
Farmer mendefinisikan sivilisasi sebagai unit budaya yang besar dan mengandung norma-norma sosial, tradisi, dan institusi yang dimiliki bersama dan diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya (Farmer 1977:xxxix). Schwetzer, seorang filosof Jerman yang memenangi hadiah Nobel Perdamaian 1954, mendefinisikan sivilisasi sebagai keseluruhan kemajuan yang dibuat oleh manusia dalam setiap aktivitas dan gagasan, yang membawa kepada penyempurnaan kerohanian individu dan komunitas. Pendapat lain tentang sivilisasi adalah sebagai satu budaya yang telah mencapai tahap kompleksitas yang lazim dicirikan oleh adanya perkotaan yang menyediakan ahli-ahli khusus di bidang ekonomi, sosial, politik, dan agama untuk memenuhi keinginan masyarakat (Jones 1960:10).
Konsep kebudayaan dalam Islam juga melibatkan istilah at-tamaddun, dan kebudayaan Islam disebut at-tamaddun al-Islami. Istilah ini merujuk kepada karangan terkenal Tarikh at-Tamaddun al-Islami yang ditulis oleh Jurzi Zaidan. Istilah ini berasal dari kata dasar maddana, yamduru, dan mudunan, yang artinya adalah datang ke sebuah bandar, dengan harf bi yang bermakna menduduki suatu tempat, maddana pula ertinya membangun bandar-bandar atau kota-kota, atau menjadi kaum atau seseorang yang mempunyai peradaban.
Dari istilah maddana ini muncul istilah lanjutan madinah yang artinya adalah kota dan madani yang berasal dari kata al-madaniyah yang berarti peradaban dan kemakmuran hidup. Istilah ini awalnya dipergunakan oleh Ibnu Khaldun, seorang sosiolog Islam terkenal (Hussein 1997:91). Dalam perkembangan sosial di Asia Tenggara, istilah madani begitu giat dipopulerkan oleh Anwar Ibrahim, mantan wakil Perdana Menteri Malaysia. Pengetian istilah ini merangkum tingkah laku yang beradab seperti orang perkotaan, bersifat halus dalam budi bahasa, serta makmur dalam pencapaian material.
Di antara istilh-istilah yang berkaitan dengan konsep kebudayaan dalam Islam, yang selalu digunakan oleh para cendekiawan, termasuk di Asia Tenggara, adalah istilah adab atau kata bentukannya peradaban. Ismail Faruqi menyatakan bahwa adab itu bererti culture atau kebudayaan. Dalam konteks ini kita kaji Hadits Nabi Muhammad SAW yang bermaksud: “Tuhan telah memberikan kepadaku pendidikan adab, addabani, dan Tuhan telah memperbaiki atau menyempurnakan pendidikan adab terhadapku.” Adab yang dimaksud adalah adab dalam pengertian yang paling luas, yang merangkumi kemampuan meletakkan sesuatu itu pada tempat yang sewajarnya, yaitu sifat yang timbul dari kedalaman ilmu dan disiplin seseorang. Sifat ini jika disebarkan ke dalam masyarakat dan kehidupan budaya, maka akan menimbulkan kesan yang alamiah dan menyeluruh di dalam kehidupan kolektif. Kesadaran tentang makna adab yang menyeluruh itu tercermin dalam kitab-kitab Islam, seeprti Adab ad-Dunya wad-Din karya Abul Hasan Al-Mawardi dan analisis tentang kehidupaan yang beradab dalam kitab karangan Imam Al-Ghazali Ihya ‘Ulumuddin.
Dalam bahasa Indonesia pula kata adab atau peradaban sering digunakan dalam berbagai literatur. Istilah peradaban biasanya merujuk kepada pengertian yang sama dengan sivilisasi dari bahasa Inggris. Kata ini memiliki pengertian sebagai unsur budaya yang dianggap mengandung nilai-nilai yang tinggi dan maju. Peradaban biasanya diakaitkan dengan hal-hal yang mencapai tahap kesempurnaan di masa dan ruang tertentu. Meskipun demikian, kalau digunakan istilah ini dengan berdasar kepada penilaian maju, maka itu adalah relatif. Dalam sejarah umat manusia, istilah ini digunakan untuk berbagai peradaban yang maju, seperti Indus, Sumeria, Assiria, Mesir, Inca, Oksidental, Oriental, dan lainnya. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang berbagai peradaban tersebut namun sebagian besar telah pupus ditelan sang zaman. Hanya sebahagian saja yang hidup, bekembang, dan kontinu hingga hari ini.
Pengubahan Nama Fakultas Sastra ke Fakultas Ilmu Budaya
Kata ”sastra” kini telah mengalami penyempitan sehingga disalahartikan sebagai indentik dengan ”kesusastraan.” Oleh sebab itu ada semacam persepsi keliru dari sebagian besar masyarakat bahwa lulusan Fakultas Sastra adalah orang yang hanya ahli atau tahu tentang bersajak-sajak, prosa, puisi atau bentuk-bentuk kesusastraan yang lain. Padahal, seorang lulusan Fakultas Sastra adalah seorang sarjana yang menguasai bahasa dan kebudayaan dari suatu wilayah atau bangsa. Kesusasteraan memang diajarkan di Fakultas Sastra, tetapi ia hanya sebagian kecil dari kurikulum FS. Atas dasar yang disebut di atas, maka kata sastra untuk Fakultas Sastra dengan demikian kurang memberikan representasi bidang-bidang lain yang diberikan di Fakultas Sastra yaitu sejarah, pariwisata, perpustakaan, dan linguistik. Oleh karena itu pada tahun 2010 Fakultas Sastra mengadakan perubahan nama, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara menjadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara. Dengan perubahan nama tersebut dapat menghilangkan persepsi keliru masyarakat tentang apa yang diajarkan di Fakultas Sastra USU.
Selanjutnya penggunaan kata sastra pada Fakultas Sastra USU juga dapat merugikan kepada banyak bidang-bidang ilmu terkait termasuk merugikan bagi pengembangan dimensi multidisiplin ilmu. Ilmu secara umum pada istilah Fakultas Sastra sebagai wadah pengembangan ilmu dan sebagai disiplin ilmu tidak akan mampu mengarah kepada dinamika yang diperlukan dalam dinamika perkembangan bidang-bidang ilmu lainnya dan mengarah kepada dinamika yang diperlukan maka istilah yang dapat mewadahinya adalah yang berdimensi multi. Maka perubahan Fakultas Sastra dapat menjadi Fakultas Ilmu Budaya USU, karena berdimensi multi dan dapat mewadahi departemen-departemen dan prodi-prodi serta konsentrasi-konsentrasi keilmuan dengan perkembangan bidang-bidang ilmu multi dimensi lainnya.
Demikian juga pergantian nama dari Fakultas Sastra ke Fakultas Ilmu Budaya USU didasari dari pemikiran bahwa laju kembang keilmuan telaah sastra mutakhir semakin membutuhkan elaborasi serta signifikansi terkait konteks kultural. Dengan kalimat lain, kajian sastra murni dirasa saja tidak cukup sehingga diperlukan adanya suatu bangun akademis baru yang mampu menajamkan dan memperkaya makna serta urgensi kajian sastra di tingkat pendidikan tinggi, dengan mengajukan beberapa gagasan menyangkut pengembangan pemahaman budaya yang mengarah pada pemberian pengetahuan dan kegiatan yang mempertinggi kesadaran terhadap pola-pola kebudayaan, sehingga mahasiswa dapat melihat perbedaan dan persamaan kebudayaan dengan lebih luas dan komprehensif.
Dengan demikian, pengembangan wawasan pluralisme sehingga mampu bersaing di berbagai tingkat, baik nasional maupun internasional. Dengan menghimpun ilmu-ilmu yang berhubungan dengan bahasa, kesusasteraan, sejarah, pariwisata, dan perpustakaan dan lainnya yang berorientasi pada keanekaragaman budaya dalam menjalin kerja sama lintas program studi di tingkat fakultas, bahkan universitas dalam rangka pembentukan kepribadian.
Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran FIB
Visi, misi, dan sasaran FIB USU telah dimusyawarahkan melalui Rapat Kerja Fakultas di Tanah Karo pada pertengahan tahun 2011 ini. Visi, misi, dan sasaran ini akan menjadi dasar awal dalam operasional akademis FIB mulai 2011 ke masa-masa yang akan datang. Visi, misi, dan sasaran FIB ini.
Visi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera adalah menjadi lembaga pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam bidang kebudayaan, yang unggul dan bertaraf nasional dan internasional, peduli pada kepentingan kemanusiaan, dunia usaha, dan berwawasan lepada nilai-nilai budaya bangsa.
Misi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah sebagai berikut.
a. Menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian di bidang ilmu budaya yang bermutu tinggi dan mampu bersaing baik secara nasional maupun internasional.
b. Mengembangkan penelitian dalam bidang ilmu budaya yang mendorong kemajuan pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang bermanfaat untuk kepentingan umat manusia.
c. Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat berperspektif budaya untuk menyelesaikan masalah-masalah masyarakat dan kemanusiaan.
d. Menjalin kerjasama dengan dunia usaha dan instansi lainnya baik di dalam maupun di luar negeri dalam bidang kebudayaan untuk pengembangan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
e. Menghasilkan lulusan yang berwawasan dan berkompetensi budaya beserta keberagamannya, beretika, inovatif, berjiwa kepemimpinan, dan peduli terhadap masalah kemasyarakatan dan kemanusiaan.
Sebagai penjabaran misi di atas, maka tujuan dan sasaran USU dirumuskan sebagai berikut:
1. Melakukan partisipasi aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan kemanusiaan.
2. Memperluas partisipasi aktif dalam pembelajaran sesuai dengan kebutuhan nasional, dan memodernisasikan cara penyampaian pembelajaran.
3. Meningkatkan kemampuan pendanaan melalui usaha universitas untuk mengembangkan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
4. Membangun suatu pusat informasi dan teknologi komunikasi.
5. Memperkuat departemen untuk mengelola satu disiplin ilmu dan antardisiplin ilmu.
6. Menciptakan tata pamong universitas yang baik dan demokratis .
7. Menciptakan pendekatan baru yang berfokus pada ”pembelajaran sesuai kebutuhan.”
8. Menciptakan suatu lingkungan pengajaran dan pembelajaran yang kondusif untuk menciptakan kerja kreatif.
9. Menjadi perantara kecenderungan ilmu pengtahuan, teknologi, kesenian, kebudayaan dan kemanusiaan baik secara nasional maupun internasional.
Polarisasi Zaman
Sebagai sebuah fakultas yang bertujuan mengembangkan ilmu budaya, maka sudah selayaknya FIB USU selalu mengikuti polarisasi zaman. Kini perkembangan keilmuan juga telah mengalami perkembangan dan kontinuitas dari era-era sebelumnya. Termasuk juga ilmu-ilmu budaya, yang disinonimkan pula dengan ilmu humaniora, dan ilmu-ilmu kemanusiaan.
Perkembangan dan polarisasi keilmuan di masa kini telah melahirkan sebuah tema besar yaitu kajian budaya atau sering juga disebut dengan cultural studies. Menurut Lash (2007): “cultural studies is an academic field grounded in critical theory and literary criticism. It generally concerns the political nature of contemporary culture, as well as its historical foundations, conflicts, and defining traits. It is, to this extent, largely distinguished from cultural anthropology and ethnic studies in both objective and methodology. Researchers concentrate on how a particular medium or message relates to matters of ideology, social class, nationality, ethnicity, sexuality, and/ or gender.”
Perkembangan kajian budaya seperti diungkapkan Lash tersebut kiranya sangat penting untuk disikapi dalam rangka mengembangkan ilmu-ilmu budaya. Kajian budaya ini penting diterapkan terutama pendekatan teori kritis dan kritisisme sastra. Kemudian dikembangkan juga keberadaan politis (kebudayaan) dan kebudayaan kontemporer, begitu juga dengan dasar-dasar kesejarahan budaya, konflik, sikap sosiobudaya, dan lainnya. Kajian budaya ini tampaknya mencakup hal-hal yang lebih luas dibandingan antropologi budaya.
Di dunia ini, ada pula pakar budaya juga mengembangkan teori benturan peradaban (clash civilization), khususnya Samuel P. Huttington (1996). Menurutnya kebudayaan masyarakat dan agama adalah menjadi sumber utama konflik setelah selesainya perang dingin, yaitu antara Blok Barat yang liberal dan Blok Timur yang sosialis dan komunis. Teori benturan kebudayaan ini disampaikan dalam kuliah di dasawarsa 1990-an dan hasil pemikirannya tersebut dibukukan dalam tajuk The Clash Civilization and the Remaking of World Order. Walau ada benarnya pendapat beliau tentang benturan peradaban yang didasari duka hal yaitu agama dan kelompok masyarakat, namun dalam tahapan praktik dan terutama ide, agama-agama menganjurkan perdamaian, bukan benturan atau peperangan. Namun yang terjadi adalah dengan berdasarkan perbedaan tersebut, maka manusia bisa saling berperang. Atau perbedaan menjadi alasan untuk berbenturan.
Dalam konteks politik dunia benturan peradaban ini menjadi satu agenda negara-negara maju untuk masuk “menjajah” negara-negara terkebelakang, yang memang di dalamnya dibumbui dengan perbedaan religi dan sistem. Penerapan demokrasi ala Barat juga menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya konflik di dunia ini. Padahal kita tahu bahwa demokrasi ala Barat bukanlah satu-satunya sistem politik yang paling tepat digunakan oleh semua bangsa di dunia ini.
Polarisasi zaman juga menghendaki ilmu-ilmu budaya harus terus mengembangkan teori-teori dalam konteks mengkaji dan juga mengembangkan peradaban manusia terutama di lingkungan universitas yang menaungi ilmu budaya ini. Pendekatan kualitatif, kuantitatif, serta penelitian dan pengembangan (R & D) menjadi menarik terus untuk digumuli dan dikembangkan. Begitu juga penggunaan teknologi terkini menjadi sebuah keharusan dalam mengembangkan ilmu-ilmu budaya. Penggunaan alat-alat penelitian lapangan, siber, audiovisual, teknologi informasi, multimedia perlu digunakan dalam konteks mengembangkan ilmu-ilmu budaya.
Selain itu, para ilmuwan budaya, apakah sarjana, magister, maupun doktor dan guru besar hendaklah mampu mengembangkan teori-teori di bidang ilmu-ilmu budaya terutama di dalam bidang-bidang yang digelutinya secara intensif. Seperti diketahui di dalam ilmu-ilmu budaya ada teori-teori alur utama seperti semiotik, hermenetik, posmodernisme, poskolonial, posstruktural, fungsionalisme dan strukturalisme, yang umumnya diciptakan dan dikembangkan oleh ilmuwan Barat, tetapi tidaklah haram bagi ilmuwan ilmu budaya di FIB USU untuk menemukan teori-teori baru, yang tentu saja harus dipublikasikan. Kita boleh mencontoh sikap ilmuwan ilmu budaya di negeri jiran Malaysia yang tidak segan-segan menciptakan teori yang berbasis kepada budayanya. Mereke membuat teori-teori baru dalam mengkaji budaya Malaysia, seperti teori: takmilah, atqaqum, teksdealisme, semiotika Melayu, neonostalgia, teori adat Melayu, dan lain-lainnya, yang umumnya diprakarsai oleh doktor dan guru besar ilmu-ilmu budaya yang mengajar di universitas-universitas.
Kesimpulan
Dari uraian di atas tergambar dengan jelas, bahwa FIB USU bukanlah sekedar ikut-ikutan mengubah namanya dari FS USU sebagaimana universitas-universitas lain di Indonesia. Pengubahan nama ini telah dimusyawarahkan, diwacanakan, dipikirkan, dikaji, dan dipolarisasikan arahnya ke masa depan. FIB USU juga sangat menghargai kontinuitas atau kesinambungan akademis yang telah dibangun sejak berdirinya. Pengubahan nama tidak serta merta mengubah semua hal, tetapi mempertimbangkan secara bijaksana apa-apa saja yang harus berubah dan apa-apa saja yang harus kontinu. Selain itu, pengubahan ini mestilah juga melihat perkembangan dan polarisasi keilmuan serta zaman yang pasti terus-menerus berubah. Oleh karenanya kreativitas saintifik dan manajerial perlu terus dikembangkan dalam menyongsong perkembangan dinamika kebudayaan masyarakat.
Daftar Pustaka
Abdullah Al-Ahsan, 1988. The Organization of the Islamic Conference (OIC). Herndorn: Interational Institute of Islamic Thought..
Adler, Mortimer J. et al. (eds.). 1983. Encyclopaedia Britannica (Vol. XII). Chicago: Helen Hemingway Benton.
Ahmad Samin Siregar, 2000. “Pemakaian Bahasa Melayu sebagai Gambaran Budaya dan Cara Berfikir Masyarakat Melayu Sumatera Timur.” Dalam Kumpulan Kertas Kerja Kolokium Bahasa Pemikiran Melayu dan Indonesia. Suntingan Darwis Harahap dan Abdul Jalil Haji Anuar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pusaka.
Anderson, John, 1971. Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Singapura: Oxford University Press..
Batara Sangti. 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar.
Brahma Putro. 1981. Karo dari Jaman ke Jaman. Medan: Yayasan Masa.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.
Du Gay, Paul, et al. Doing Cultural Studies: The Story of the Sony Walkman. Culture, Media and Identities. London ; Thousand Oaks Calif.: Sage in association with The Open University, 1997.
Garraghan, Gilbert J., S.J. 1957. A Guide to Historical Method. East Fordham Road, New York: Fordham University Press.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York
Gillin, J.L. dan J.P. Gillin. 1954. For A Science of Social Man. New Yor: McMillan.
Goldsworthy, David J. 1979. Melayu Music of North Sumatra: Continuities and Changes. Sydney: Monash University. Disertasi Doktoral.
Hajjah Noresah bt Baharon dkk. (eds.), 2002. Kamus Dewan Edisi Ketiga. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dam Pustaka.
Hall, D.G.E., 1968, A History of South-East Asia, St. Martin's Press, New York. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, 1988, diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo, Surabaya: Usaha Nasional.
Huntington, Samuel P., The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, New York, Simon & Schuster, 1996
Ismail Hussein, 1978. The Study of Traditional Malay Literature with Selected Bibliography. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
LaPiere, Richard T., 1965. Social Change. New York: McGraw Hill Book Company.
Malinowski, “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antroplologi I. 1987. Koentjaraningrat (ed.), Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Muhammad Takari dan Fadlin, 2008. Sastra Melayu Sumatera Utara. Medan: Bartong Jaya.
Muhammad Takari dan Heristina Dewi, 2008, Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Koentjaraningrat (ed.), 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Rineka Cistra.
Koentjaraningrat, 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Kroeber, A. L. and C. Kluckhohn, 1952. Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. Cambridge, MA: Peabody Museum
LaPiere, Richard T., 1965. Social Change. New York: McGraw Hill Book Company.
Lash, Scott. 2007. "Power after Hegemony: Cultural Studies in Mutation?" Theory, Culture, and Society. 24(3): 55-78
Tim Penyusun Proposal Pengubahan Nama Fakultas Sastra ke Fakultas Ilmu Budaya USU, 2010. “Proposal Pengubahan Nama Fakultas Sastra ke Fakultas Ilmu Budaya USU. Medan.
Tim Penyusun KUBI, 1966. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
UNESCO. 2002. Universal Declaration on Cultural Diversity, issued on International Mother Language Day, February 21, 2002. Retrieved: 2006-06-23.
Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (peny.) 1992. Serba-serbi Semiotik. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Parsudi Suparlan, 2003, “Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: Yayasan Ilmu Kepolisian
Peirce, Charles S. (1938-1956). The Collected Papers, 8 vols., Charles Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur W. Burks (eds.). Cambridge: Harvard University Press. Teeuw, A.1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Poerwadarminta, 1965. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.Thee Kian Wee, 1977. Plantation Agriculture and Export Growth and Economic History of East Sumatra. Jakarta: Leknas LIPI.
Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press.
Turner, Victor dan Edward M. Bruner (eds.). 1983. The Anthropology of Performance. Urbana dan Chicago: University Illinois.
Tylor, E.B. 1974. Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Art, and Custom.New York: Gordon Press.
Usman Pelly, 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.W.J.S. Poerwadarminta (ed.), 1965. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Yuyun S. Suriasumantri, 1984. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor dan Leknas LIPI.